Jika kau bertanya, "Bagaimana rasanya sendiri?" Aku akan menjawabnya dengan satu kata: Paradoks
Tak kupungkiri, sendiri itu sepi. Melewatkan detik dengan sunyi. Saat ingin berlari pun jadi enggan, karena tak ada yang hendak dihampiri. Tatkala ingin berkesah, yang kutemukan bayangku saja, lalu Allah jadi tempat muara segala kisah.
Namun, sendiri itu juga bahagia. Ya, aku bisa melakukan apapun yang (mungkin) hanya aku sendiri yang bisa menikmatinya. Merasakan angin menyapa, melihat awan berarak, gelombang air beriak, daun berguguran, kendaraan berlalu lalang, dan mengamati segala ciptaan-Nya. Lalu aku jadi bersyukur. Belum tentu jika bersama orang lain aku bisa melakukan itu, bukan?
Dengan sendiri, aku tak perlu "lebih" membebani pikiranku. Ya, tak perlu memikirkan jika ada yang marah kalau aku terlena di duniaku, tak perlu memberikan perhatian lebih pada orang yang belum tentu memperhatikanku. Benar, bukan? Hidup adalah panggung sandiwara. Realita terkadang sekejam itu.
Pun, kesendirian ini membuatku lebih fokus dalam mengatur langkah meraih asa yang membuncah. Waktuku bisa kumanfaatkan seefisien mungkin untuk belajar, belajar, dan belajar. Terlalu banyak hal yang tak kuketahui dan kepala kecilku ini benar-benar ingin menampungnya. Rasa penasaran ini terlalu membelenggu untuk mempelajari ilmu satu-satu. Pula semangat mudaku mensekresikan naluri berpetualang, melihat Indonesiaku lebih dalam: pesonanya, masyarakatnya, kulinernya, dan gemaripah loh jinawinya. Semuanya. Dan akhirnya, semua membuatku tersadar, aku bangga sebagai terlahir sebagai generasi muda Indonesia. Fakta di depan mata juga seolah menyentilku: apa yang akan kau persiapkan untuk membangun Indonesia? Sudahkah kontribusimu berpengaruh pada Indonesia? Ah, aku malu. Malu karena aku tak jarang bangga dengan dunia sempitku, sementara anak lain seusiaku telah menjelajah mancanegara dengan menawarkan idenya untuk mengubah "wajah" Indonesia.
Setelah semua analisa, masihkah terbersit sesal karena menjalani kesendirian? Tidak. Hidupmu tak semata bergantung pada status, bukan? Aku memiliki keluarga yang tak pernah berkurang perhatiannya. Aku punya kawan dan sahabat yang selalu siap mendengarkan cerita dan membuat waktu berkualitas dengan mereka. Aku punya segalanya.
Termasuk Dia -yang menganugerahiku nikmat tiada terkira. Orang-orang luar biasa yang tak pernah henti menghampiri saat motivasiku nyaris habis. Dengan ini, bagaimana sempat muncul rasa kesendirian yang berkepanjangan?
Bersyukurlah~ bahkan pada gulitanya malam yang kau lihat, karena ada harapan: pagi yang cerah dengan semangat berletupan (
mesku dibalut "kesendirian")
Komentar
Posting Komentar