Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

SYAHRU MAGHFIRAH DI TANAH MERAH

Oleh : Nur Azlina Oktavianti Aroma anyir menyambangi setiap sudut negeri menjalari rengkuh cintaNya pada nadi berdesah janji “Terus saja bumihanguskan ranah ini sampai tawamu membuncah. Puaskan nafsu :tebar rudal pada negeriku. Deru baling dan kavaleri tiada merenggut ghirah kami. Dzat penggenggam jiwa menantiku di sana.” titahmu -di antara lucutan hempasan pasir dalam dzikir. Cakrawala alpa dari birunya, disaput merah saga wajah kecil lugu lupa pada riangnya, larut dalam tanya -hari esok bilakah ada? doa para ibu membahana, bersidekap pundak kaku mungil dengan raga hampa sedang yang lelaki menyibak ragu menjemput syurgaMu Fajar Ramadhan di Gaza semakin membara, syukur dalam pilu kebisuan menyambut Izrail lalu lalang sahur dan berbuka menenggak mimpi Syawal semakin pudar, namun asa nanar masih berpendar semoga dapat bersama :meneriakkan takbir menguapkan getir.

3rd Story

Oleh : Nur Azlina Oktavianti Kami hanyalah sekeping hijau, jangan diperturutkan adu merah biru yang sama sekali tak memukau. Sungguh! Jika kau ke luar, kau lihat warna apa yang paling menyebar?! Kami memang merebak, tapi tak berarti jika tiada yang mengalah dari “aku yang paling puak!” Hidup memang seleksi, namun tak jua menyiksa hingga mati. Bukankah kita telah belajar tentang keikhlasan elektron dalam berbagi? Memberi pada yang tak memiliki (baca: kovalen koordinasi) dan berikatan bersama dengan yang tiada cukup berpunya (baca: kovalen). Kita berikrar untuk bermastautin di gang paling empati, namun fakta bersimpati saja tak dapat kau tepati. Kita berjanji inilah rantai yang kuatnya melebihi garis berpilin tiga, tapi saat diuji hanya seperti titik tiada ada-tiada ada. Bertanya? Masa kita tak lama, maka jangan makin kau buat ia tak bermakna. Mungkin aku yang terlihat paling iri, faktanya ada yang menutup mata dari bagaimana mereka menelan pedih seorang diri. Kau. Tau? To

NOKTAH GULUNGAN KISAH GAZA

Azka Ar-Rumaishaa             Semburat fajar di ufuk timur mengisyaratkan pada legam malam agar segera merangsak ke belahan bumi lain. Perlahan larik cahaya keemasan yang dirayu cakrawala menorehkan kemilaunya. Kendati rupanya begitu sejuk berayun di balik singgasana mega, pandanganku hanya mengenal dua warna nyata, biru bak merah saga dan putih ialah kelabu yang melingkupi langit Gaza. Umpama beretorika bilamana mengakui apa yang direkam mata sedang hati menafsirkan sebaliknya, sebab langit telah menjadi saksi nestapa.             Aku bersyukur pada Rabb-ku yang masih memberi sejumput waktu untuk menikmati oksigen dari bumi-Nya dengan ketenangan seperti pagi ini, di altar salah satu universitas terbaik di kota mode, Sarbonne University , untuk menyelesaikan gelar PhD. Tak luput kusampirkan sepucuk doa, agar cinta-Nya menaungi ummiku yang tengah berada di bumi para syuhada. Rampung sewindu lamanya aku melangkahkan kaki dari gerbang kampung halaman saat terakhir kali kujenguk u

2nd Story

Oleh : Nur Azlina Oktavianti Perjalanan menuju dewasa itu penuh coba, dara –tak sekedar kata-. Bukankah kita yang kadang berlagak : dewasaku kian tegak, itu sama artinya dengan kita mampu meredam emosi, meski calar di sana sini. Hati? Allah mengirimkan beragam keunikan dalam satu wujud, semoga aku akan lebih sering bersujud. Sabar. Yakinlah, tiada seindah melihat cahaya setelah berjalan di terowongan gelap, tak jarang berduri, tapi untunglah ada kalian di sini –menemani. Alhamdulillah. Jika ada yang memuji, “Kamu benar-benar hebat!”. Bukan untukku saja kata itu tertuju, tapi juga untuk kamu, orang-orang luar biasa yang senantiasa mengitariku : agar kuat. Syukron. Hati itu lembut, hanya takluk pada lisan yang diperhalus dan tingkah yang tulus. Kau lihat sobat, sekalipun batu itu keras, namun dapat berlubang hanya karena ditetesi air hingga kepingannya meranggas. Ikhlas. Bukan gampang berada di puncak, sebelumnya telah kau temui: lereng tajam yang mesti didaki, cem

1st Story

Oleh: Nur Azlina Oktavianti Kawan, kau tahu kan? Tiada semua hal dapat dikekang. Ada yang tak mampu terkungkung, meski telah dikurung. Di relung tak terjamah, namun ia ada. Tatkala kau berusaha menahannya, akan dihunjamnya hingga kau tak berdaya. Menyerah. Seperti keledai terkulai lemah. Menderap dalam sunyi. Pasti. Semangat membumi, bukan sederhana tuk ditunggangi. Kata membuai sampai suatu masa tersungkur lunglai. Sabda hati itulah fatwa sejati. Kasih? Cinta itu energi bila kau paham bagaimana mengalirkannya. Jikalau salah cara, bersiaplah merintih akhirnya. Kita? Beraneka cita manusia. Ada yang berjuang hidup demi terwujudnya mimpi sampai mati. Ada yang tersungkur di aral penuh onak, tak kuasa menyangkutkannya di puncak. Pun ada segelintir yang jalani masa dengan yang bukan tujuannya, hanya terjebak sekedar melanjutkan apa yang sebelumnya telah bermula. Ada yang berleha dengan memetik keinginan, sementara yang lain terjerembab hendak menerabas jangkauan. Dari alkisah me

PETUALANGAN ULI

Hai, namaku Uli. Aku tinggal bersama teman-temanku dibalik rimbun dedaunan kebun teh. Kebun kami terletak di kaki gunung yang tegak menjulang dengan hamparan hijau pohon-pohon teh yang berukuran sekitar semeter dibatasi garis horizon, menandakan kalau pucuk demi pucuk daunnya yang dipangkas oleh petani setiap hari. Rumahku wangi, ya, wangi kedamaian penuh ketenangan yang disebar angin yang berhembus dari perbukitan juga wangi dari pucuk-pucuk daun teh yang baru dipetik.  Kebun kami tak sepi, selalu ramai, ramai dengan dendangku dan teman-teman sepanjang hari. Ah, iya, baiknya kuperkenalkan teman-teman kecilku, mereka adalah Kepi, si kepik merah, dan Belgi, belalang hijau. Dapatkah kau menerka rupaku melihat dari bagaimana teman-temanku? Hmm, jangan terkejut ya, karena aku adalah seekor ulat daun. Ah, biasanya tiapkali anak-anak melihatku mereka langsung akan berlari dan menjerit karena geli. Diantara teman-temanku lainnya, mungkin akulah yang paling tidak memil

DAUN

  Di organisasi ini, kita umpama sehelai daun dari sebatang pohon. Tak lebih dari secuil kuku, lama waktu bagi kita tuk berayun-ayun dalam tenggeran ranting yang menjadi landasan berpijak. Walau begitu, kita tetaplah daun. Tanpa kita semua, apa yang akan dikata dari sebatang pohon. Ya, pohon tersebut akan dikasihani oleh orang-orang yang melewatinya. “Lihatlah, malang benar pohon itu ditinggal luruh daunnya…” gumam setiap orang yang berlalu melaluimu. Dari rupa-rupa bentuk kamilah, daun-daun kecil ini, sebatang pohon indah dipandang mata dan menyejukkan bagi yang melihatnya. Aih, lihatlah ke pucuk-pucuk atas  sana kawan … Adik-adik kami yang masih berbentuk tunas mungil ‘kan merekah dan menunjukkan hijaunya. Sementara itu, adik-adik dibawah kami sedang bermetamorfosa warna, hijau muda mereka sebentar lagi ‘kan menyamai warna kami setahun lalu. J Hmm, masih kuingat dua tahun lalu saat aku juga masih dalam balutan kuncup hendak membuka mata. Begitu rapuhnya, lalu k

MIMPI ITU NYATA, JIKA KAU PERCAYA !

Aku tinggal di desa pedalaman Riau. Bersekolah di SMA biasa saja, tidak begitu terkenal malah, walau hanya di tingkat kabupaten. Tapi kawan, aku punya mimpi! Terlalu sederhana mungkin bagi orang kebanyakan, tapi mimpi ini lazim diharapkan dari siswa lain. KULIAH S1 FULL BEASISWA !! Simple , kan! Meskipun aku tak benar-benar tahu bagaimana cara mewujudkannnya, mengingat letak sekolahku yang jauh dari informasi tentang beasiswa, intenet yang sulit jaringannya, pun kakak senior belum pernah ada yang mencoba. Meski ragu membelenggu, kupatri juga mimpi itu! Terik surya sempurna menjemur tanah rawa yang mulai mengering di suatu siang, aroma kecut masam berhimpun dan merebak ke seluruh penjuru kelas yang mulai gaduh menanti guru datang usai istirahat siang. Aku tak terlalu larut dalam keriuhan itu, hanya diam sambil menjawab soal-soal. Sampai seorang guru memanggilku untuk menemui Kepsek diruangannya. “Kamu dipanggil pak Kepsek juga ya, Az ?” celetuk Wino, teman kelas sebelah yang