Azka Ar-Rumaishaa
Semburat fajar di ufuk timur
mengisyaratkan pada legam malam agar segera merangsak ke belahan bumi lain.
Perlahan larik cahaya keemasan yang dirayu cakrawala menorehkan kemilaunya.
Kendati rupanya begitu sejuk berayun di balik singgasana mega, pandanganku
hanya mengenal dua warna nyata, biru bak merah saga dan putih ialah kelabu yang
melingkupi langit Gaza. Umpama beretorika bilamana mengakui apa yang direkam
mata sedang hati menafsirkan sebaliknya, sebab langit telah menjadi saksi
nestapa.
Aku bersyukur pada Rabb-ku yang
masih memberi sejumput waktu untuk menikmati oksigen dari bumi-Nya dengan
ketenangan seperti pagi ini, di altar salah satu universitas terbaik di kota
mode, Sarbonne University, untuk menyelesaikan
gelar PhD. Tak luput kusampirkan sepucuk doa, agar cinta-Nya menaungi ummiku
yang tengah berada di bumi para syuhada. Rampung sewindu lamanya aku melangkahkan
kaki dari gerbang kampung halaman saat terakhir kali kujenguk ummi didampingi
paman Thariq, adik tunggal ummi yang bermukim di Istanbul, Turki. Ya, sedari
remaja aku sudah tinggal di rumah paman, lantaran tragedi kepiluan yang membuat
ummi akhirnya bersikukuh agar aku dibesarkan di luar tanah bertanamkan ranjau
ini.
Kala
itu, tatkala matahari tegak di sepenggalan angkasa, aku yang duduk di kelas VI
dan adikku, Hafshah, yang berada di kelas III, sedang belajar di ruang kelas
kami masing-masing. Tiada gelagat ganjil yang menjadi pertanda akan petaka,
sekalipun perjuangan untuk bisa sampai ke sekolah adalah hal yang membuat ummi
gelisah menanti kepulangan kami di rumah, sejak invasi zionis Israel yang merongrong
hasta demi hasta kampung halaman. Bila Allah telah berkehendak, maka tiada
suatu hal dapat dielak, melainkan dengan izinNya, serupa detik itu, ketika
rudal milik pesawat kaum Yahudi menancapkan dirinya pada lahan tempat kami
menimba ilmu, masih sempat kulihat kepulan api dengan pasir menggapai angkasa
sebelum akhirnya kusadari ummi telah berada disebelahku, di ruang kamar rumah
sakit. Menorehkan senyumnya yang paling teduh, dan segera ingatanku tertaut
pada si bungsu Hafshah. Masih dengan sumringahnya yang paling ikhlas membelai
rambutku seraya berkata,
“Hafshah
telah berada di sisi paman Eqbal, sepupumu Zaid, dan syuhada lain di
jannah-Nya, dalam rengkuhan Dzat Pemilik Cinta, Ziyad.” bulir bening jatuh di
pipinya mendahului suaranya yang dicekat luka. Membebalkan hati padi selaksa
duka. Membingkai fakta bahwa ia terlalu sedih menyaksikan satu demi satu orang
terkasih raib dari kisah yang akan dilaluinya, mulai dari abi dan kini Hafshah.
Masih jelas kuingat kapan terakhir
kali aku menatap sosok abi. Masa itu, aku masih berusia lima tahun manakala
punggung abi membelakangi kami di depan pintu seraya mengucapkan salam. Masih
sempat sebelum pergi ia berpesan padaku, “Ziyad, jaga ummi dan Hafshah sampai
abi kembali. Sebab Ziyad mujahid kebanggaan abi yang kini menjadi jundi (baca:
pemimpin) di rumah ini.” Aku mengangguk. Abi membelai rambutku dan menepuk
pundakku. Memoar terakhir sebagai kepingan mozaik kenangan yang masih melekat
di pikiran.
Sejak itu, abi tak pernah datang ke
hunian mungil kami. Pernah sekali ummi mendapat kabar dari teman abi saat yang
lain selalu menggelengkan atas tanya ummi pada keberadaan abi,
“Kami
awalnya memang bersama Abu. Kemudian tentara laknatullah itu tahu tempat
persembunyian para mujahid. Kami terpaksa berpencar sampai keadaan aman dan
tidak mendapati Abu bersama kami. Entah dia telah menjadi syuhada taupun
tertangkap dan dibawa ke penjara, tiada yang tahu, Fatma.”
Umi
terpaku pada penuturan mujahid itu. Lalu merangkul kami erat, begitu lekat.
“Maafkan
Ziyad, abi. Belum bisa menjadi jundi kebanggaan abi untuk menjaga ummi dan
Hafshah sampai abi kembali.” Aku berbisik lirih, kupalingkan wajah dari ummi
saat butir air sejuk meluncur di pipi. Aku harus tegar di hadapan ummi,
semangatku untuknya.
Sepeninggal Hafshah, ummi semakin khawatir
akan keselamatanku hingga Ia memanggil Paman Thariq agar memboyongku tinggal di
kota dinasti kesultanan Islam terkhir, Turki Usmani.
“Biarlah
dia tumbuh bukan di tanah kelahirannya. Aku tak ingin dia turut menemui ajal
karena keganasan musuh Allah. Bukan
berarti aku tak mau dia menjadi syuhada, hanya saja aku ingin dia berjuang
tidak seperti mujahid militan, besar harapanku ia berjuang dengan pengetahuan,
dengan ilmunya, Thariq. Bawa dia ke Turki, agar ia dapat merasakan damai suatu
negeri tanpa perang dan terpatri mimpi didirinya untuk mengakhiri kemelut ini,
sekurang-kurangnya ia dapat membangun kota permai kami.” Ummi terisak menjelaskan
argumennya pada paman.
“Bagaimana
kalau kakak ikut bersama kami ke Istanbul?”
“Tidak,
Thariq. Biarlah aku di sini. Menanti pada jiwa yang mungkin kembali. Bisa saja
Abu masih hidup, dan mungkin ia bingung jika nanti kami tak berada di sini. Tak
apa, kau pergilah bersama Ziyad.” Keputusan ummi bulat.
*****
Gaza,
Juli 2014
Aku mematung pada pusara di depanku.
Sejak Israel benar-benar memblokade negeri ini dan membuatnya terisolir, tak
pernah kudapati lagi kabar tentang ummi. Sampai hari ini, aku baru mengetahui
bahwa ummi telah berada disisiNya, menemani abi dan Hafshah sejak dua pekan
lalu. Rumah tempat bernaung pun kini telah porak poranda saat Zionis itu
benar-benar menghantam kota mungil ini tanpa ampun, ribuan orang bersimbah
darah, padahal korban yang menjadi sasaran bahkan belum mengetahui apa arti
perjuangan mempertahankan bumi Allah ini. Aroma kematian bergerak kencang,
menebar keharuman dari wangi para bidadari yang turun menjemput para syuhada
yang datang pergi.
Aku masih belum tahu apa yang harus
kulakukan sekarang. Sebatang kara di Gaza. Memenuhi janjiku pada ummi untuk
membangun negeri atau turut menjemput cita dari mereka yang maju ke depan medan
:menggapai cinta Dia Yang Rahman. Kusapu kota dalam pandang, jalanan yang
lengang, hiruk pikuk masyarakat yang hilang, dan masa depan terasa begitu
mengambang. Sampai ruang pendengaranku menangkap suara berdesing, diikuti
puing-puing seolah kehilangan gravitasi, itu yang terakhir kali kutatap sebelum
semua lenyap. Gelap.
Komentar
Posting Komentar