Langsung ke konten utama

Kenangan dari Bumi Pasundan




First Day, 25 April 2015
 
          Mentari bahkan masih berselimutkan langit kelam, tapi tidak dengan kami, perwakilan Himaprostpek yang menerabas sejuk pagi buta menuju bandara. Penerbangan pertama di hari itu, pukul 06.30, setidaknya pukul 05.30 kami sudah harus check-in. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Kami bahkan melihat meruaknya sinar kuning itu dibalik jendela pesawat yang mulai lepas landas. Masya Allah, begitu indah, pancaran cahayanya yang menyembul dibalik awan.
          Cerita pun beralih pada aksi berebut kamera dan snack selama di pesawat. Yah, dapat dilihat sendiri bagaimana hasil akhirya pada jepretan kamera dibawah postingan ini. Aksi ribut rebut kami pun berhenti di menit berikutnya. Mungkin peserta studi banding lelah. Ada yang masih (terus) selfie, membaca, melihat pemandangan luar dan melanjutkan tidur yang terputus.


          “Penumpang Lion Air, Selamat Datang di Jakarta!” ucapan pramugari seolah membuat mata peserta terbelalak dan sontak melihat jendela. Gedung pencakar langit mulai terlihat puncaknya, hunian padat penduduk, dan lapangan udara luas di depannya. This is Jakarta!
           Arloji menunjukkan hampir pukul sepuluh tatkala kami bersiap melanjutkan perjalanan didampingi pembimbing kami yang telah menunggu sedari tadi. “Bandung, we are coming!” terbaca dari kilatan mata peserta saat memasuki mobil masing-masing. Tapi tampaknya kilatan itu akhirnya redup, menghadapi kenyataan jarak Bandung-Jakarta yang biasa ditempuh dalam waktu dua jam akan mengendur lebih lama. Setidaknya itulah yang kufikirkan manakala melihat spanduk, banner, dan umbul-umbul di sepanjang tol Bandung-Jakarta bertuliskan “Welcome to Delegates Asian-Africa Conference” dengan latar hijau. Ah ya, hari ini penutupan KAA dan perhelatan akbar tersebut berlangsung di Bandung!
        Matahari menanak bumi dengan termalnya saat kami tiba di salah satu pemberhentian tol di Jakarta untuk santap siang. Kami mencicipi panganan khas Bandung, soto Bandung dan Nasi Timbel. Penasaran?
           Perjalanan pun dilanjutkan, begitu pun dengan hibernasi. Kami baru menggeliat saat hamparan sawah di sela-sela rumah penduduk tertangkap mata. Papan toko menuliskan lokasi yang kami lewati, Kabupaten Bandung (sst, harap dibedakan Kabupaten Bandung dan Kota Bandung,ya.). Ada yang khas dari rumah penduduk disini. Apa? Jika kita di Riau beratapkan seng dan/atau asbes, maka penduduk disana atapnya berasal dari tanah liat merah. Terutama saat mobil kami memasuki jalanan menanjak, tampak rumah penduduk dengan atap merah  dikelilingi hijaunya hutan, sawah atau kebun –bertudung kabut tipis putih. Padahal di atas matahari bersinar dengan pongah. Itulah kawan, pesona kota Kembang.


          Aroma hutan hujan pun semakin mengental saat kami memasuki objek wisata Kawah Putih, Ciwidey. Angin disertai hujan menyambut kami pertama kali. Meski hujan, pendakian menuju Kawah Putih tetap dilakukan, mengingat di Pekanbaru mungkin tak akan kami rasakan dingin yang menusuk kulit seperti ini. Payung yang kami pegang sampai terbalik karena tak mampu menghadang angin. Kabut semakin pekat bersamaan dengan aroma sulfur yang merebak. Inilah penyebab pemandangan biru hujau dari kawah yang dikelilingi tanah kapur tersebut tak dapat kami nikmati sepuasnya. Dari daratan seberang kami mendengar suara koor sekerumunan orang berseragam putih, meski samar tertutup kabut. Hujan kian lebat. Kami pun berlari hendak pulang. Namun di pertengahan jalan, di depan Lubang Jepang, kami terbelalak melihat tulisan di kaos dari gerombolan orang berbaju putih tadi: “Delegates of KAA”. How lucky we are!  Kemudian mulailah mata kami terbiasa dengan manusia dari negara berbeda dengan ciri khas fisiknya. Adalah pengalaman menyenangkan tersendiri dapat bertemu, berkenalan, berfoto dan mendengar tanggapan mereka tentang Indonesia. (Dalam foto di bawah ini adalah turis yang berasal dari Vietnam).


          Kami menuruni kawah putih pun dengan sibuk menggengam kamera untuk mengabadikan momen ini. Akhirnya, senyum kepuasan mengiringi deru mobil mereka yang meninggalkan kami lebih dulu. Hujan pun reda. 







            
 Mobil kami pun bergerak menuju penginapan. Namun rencana hanyalah rencana, sebab akhirnya jadwal berganti dengan berburu stroberi. Tak peduli dengan baju yang sudah basah kuyup, kami sibuk membungkuk untuk memilah-milih stroberi matang yang menjuntai keluar dari polybag. Maha Suci Allah yang telah menciptakan keberagaman jenis manusia, lahan bercocok tanam, dan kekhasan masing-masing daerah. Agar kita dapat saling belajar dan mengenal.




          Dan, malam menyapa. Supir memarkirkan mobil-mobil di depan hotel. Apakah perjalanan usai? Tidak. Kami hanya berganti baju lembab dan menuju Alun-Alun Kota Bandung. Jalanan cukup padat, kami bahkan harus berjalan kaki untuk mencapai alun-alun. Mungkin yang dikatakan alun-alun ini seperti halaman Masjid An-Nur Pekanbaru jika diberi rumput artifisial di atas tanahnya. Sebab alun-alun sendiri adalah halaman masjid raya kota Bandung. Dan disitulah masyarakat berkumpul. Entah sekedar duduk menikmati keramaian, bermain baling-baling lampu, melempar balon bola, atau sekedar ingin tahu: seperti kami. Namun bukan di situ ternyata yang menjadi alasan macetnya jalanan. Adalah Jalan Asia Afrika yang berjarak 20 meter dari alun-alun menjadi penyebabnya. Ya, pasca penutupan KAA siang harinya, jadilah tempat ini sebagai napak tilas bagi masyarakat Bandung yang juga ingin merasakan gempita Perhelatan Akbar tahun 2015 di kota mereka. Spanduk menghiasi pinggir jalan, bertuliskan budaya khas Jawa Barat, Sejarah KAA, Fakta KAA, Pelopor KAA, dan banyak lagi. Ada pula bola batu di sepanjang jalan bertuliskan negara yang menjadi delegasi. Sekali lagi, kami merasa memperoleh jackpot datang ke Bandung di saat yang tepat dengan momen yang tepat pula.






Second day, 26 April 2015

          Inilah hari puncak segala kegiatan studi banding kami. Tepat pukul 08.30 mahasiswa berseragam biru tua dengan tulisan Mahasiswa Kimia Universitas Pendidikan Indonesia menyambut kami dengan hangat. Kami lantas berjalan bersama sembari bertukar cerita. Adalah Gedung C yang menjadi tempat Studi Komparasi kami dilangsungkan. Didahului dengan perkenalan antar masing-masing peserta, baik mahasiswa UR maupun mahasiswa UPI, acara pun beralih ke arah yang lebih serius, yaitu pertukaran informasi terkait kegiatan akademis maupun organisasi.
          Mereka cukup penasaran dengan kehidupan organisasi di UR karena memang terdapat beberapa perbedaan. Seperti tidak adanya BEM Fakultas (Jurusan di FKIP UR adalah Fakultas di UPI, ya namanya juga Universitas Pendidikan, ya). Jadi semua HMJ dinaungi langsung oleh BEM Universitas. Dan masih banyak lagi cerita dan pengalaman yang secara pribadi kami dapatkan dari kegiatan ini. Meski jarak kita jauh, tetap saja pertemuan adalah kado terindah bagi saudara yang seiman dan seperjuangan walau tak pernah bertatapan langsung sebelumnya. Terimakasih kepada Sahabat Ikahimki di UPI yang telah menyambut kami sedemikian hangatnya. Cc Bupati Kimia UPI: kang Asep.
          Rintik hujan mulai turun saat kami melewati Kompleks Sekolah Lab School (TK, SD, SMP, SMA) yang terdapat di area Gedung UPI. Kamipun mulai meneduh di bawah atap Masjid Al Falah Kampus UPI, dan cerita masih saja berlanjut saat mereka mengantar kepulangan kami menuju mobil. Lambaian tangan dan momentum hujan seolah seperti menggambarkan kesedihan kami meninggalkan kampus abu-abu ini. 






          Perjalanan berlanjut, kali ini mengunjungi situs yang konon adalah perahu yang ditendang Sangkuriang dan terbalik menjadi gunung. Ya, begitulah mitosnya, here we are at Tangkuban Perahu Mount. Seperti sebelumnya, angin berorama basah masih juga menyambut kedatangan kami yang akhirnya berjalan dengan almamater melekat di badan. Peserta studi banding mulai berhamburan ke toko berdinding bambu yang terdapat di pinggir tempat wisata untuk berburu sarung tangan, masker dan topi bulu. Brr, air disini pun bahkan seperti direndam sebalok es, kawan. Belum lagi aroma sulfur yang merebak dari kawah yang terdapat di sisi kiri gunung. Meskipun sedemikian ekstremnya suhu disini, tetap tak menyurutkan langkah masyarakat untuk menjajakan barang dagangannya ke arah wisatawan. Bahkan, pasar wisata yang menjual berbagai kerajinan khas Tangkuban Perahu pun ada. 






          Pukul 14.30 mobil bergerak meninggalkan situs alam penuh pesona ini.  Satu jam setengah kemudian kami benar-benar mendapati suasana berbeda. Jika sebelumnya cerita berbelanja diiringi dengan suara yang dihasilkan dari angklung yang dimainkan oleh penjual angklung di Tangkuban Perahu, maka kisah berbelanja ini diiringi dengan deru mobil dan klakson di jalan. Inilah trend urban Bandung, semuanya terlihat disini. Kaki kami melangkah menuju salah satu mall besar Bandung, Cihampelas Walk (CiWalk) Mall. Beragam makanan dari belahan dunia dapat dengan mudah ditemui disini, begitu pun store merk terkenal. Tapi bukan itu menariknya, adalah arsitektur mall ini yang istimewa. Green mall, mungkin bisa dibilang demikian. Dengan taman yang berada di dalam mall, tempat ini menawarkan arsitektur unik, belum lagi dengan marmer batu-batu kecil lantainya dan tiang penyangganya. Aih, berbeda dengan mall di Pekanbaru :D


          Di kiri-kanan mall terdapat berbagai kios maupun pedagang kaki lima yang turut menjual kerajinan khas Bandung. Cukuplah mengenal Bandung hari ini. Aku pun mulai merasa kaki yang protes karena seharian berjalan. Alkisah hari ini mengantarkanku pada ala an mengapa Tanah Pasundan ini bergelar Paris van Java. Kau tahu kawan, ibukota negara Prancis itu tak hanya terkenal sebagai kiblat mode dunia, lebih dari itu. Jika kau telisik lebih dalam, Paris adalah kota dimana sastra, seni, sains, mode dapat berdampingan mesra. Pun begitu dengan Bandung, kota yang tak sekedar menawarkan wisata kuliner, alam, dan histori, namun kental dengan kulturalnya yang mengalir dalam guratan kerajinan tangan dari masyarakatnya. Bahkan kampus sains terkenal se-Indonesia pun berkedudukan di kota ini. Ah, itulah sekelumit cerita tentang bumi Prahyangan.

Third Day, 26 April 2015

          “Boleh gak di Bandungnya nambah lagi?” tanya peserta kepada ketua panitia, Wisnu Prammana Surya. Beliau yang ditanya senyum aja.
          Ya, dengan berat hati menenteng koper masing masing kami keluar dari Hotel Meize di Jalan Sumbawa yang menjadi rumah tidur kami dua hari ini. Hiks, kami menatap lekat-lekat bangunan di yang kami lewati. Gedung SMAN 5 Bandung yang kalau kami lewati malam harinya membuat kami bergidik (di sini nih lokasi syuting Film Bangku Kosong. Syereem) Menghitung ragam taman di Bandung, ada Taman Musik, Taman Film, bahkan sampai Taman Jomblo pun ada -_-‘ Aroma udaranya yang segar dengan nuansa lembab yang khas, pohon-pohonnya, desain rumahnya, jalan-jalannya. Ah, semuanya. Apa hendak dikata, bukankah setiap perjumpaan akan ada perpisahan?
          Jalan yang menghadang tanpa ujung kembali kami dapati saat memasuki tol Bandung-Jakarta. Disuguhi pemandangan alam hijau yang membuat bibir ini berkali-kali mengucap syukur, rangkaian pegunungan, sawah membentang, petani yang memanen teh di kebun yang menghampar, dan tetap saja yang karakteristik: selalu ada kabut tipis di kaki langit. Aku masih dengan kamera di tangan, merekam atau sekadar memotret unique view yang menurutku baik untuk diabadikan. Hingga beberapa saat kemudian, alunan langgam Sunda menjadi nina bobo bagi kami di mobil.
          Desau larik surya seperti menyapa epidermis kulitku. Woww, we are at center of Jakarta now! Inilah kota metropolitan dengan gedung-gedung (yang memiliki setidaknya 30-50 lantai) menjulang, tak tanggung-tanggung, hingga gapura namanya pun dipahat kata “Menara”, seperti Menara Hijau, Menara Biru dan menara-menara lainnya. Kemudian, kawan lain pun mulai menoleh pada Patung Pancoran yang konon arah tangannya menunjuk ke arah tugu dengan emas di puncaknya. Ya, di sanalah destinasi terakhir kami. Monumen Nasional.
          Pukul 12.30, adalah waktu yang cukup telat untuk mendapatkan tiket lift menuju puncak monas. Padahal kami sudah berjalan cepat, namun apa hendak dikata, kesempatan itu memang belum berpihak pada kami agaknya. Jadilah perjalanan pun berganti dengan mengamati museum diorama 4 dimensi di kaki monas. Ya, diorama ini seperti miniature yang menceritakan kisah perjalanan bangsa Indonesia, dimulai dari abad prasejarah dengan spesies Homo Wajakenensis, berlanjut pada kekayaan hasil alam Indonesia yang menarik minat Portugis untuk menjajah di negeri kita, saat tiba di Malaka tahun 1511. Patung-patung kecil dengan gambaran alam yang khas pun kembali bercerita tentang perjuangan rakyat melepaskan diri dari belenggu penjajah, seperti Kisah Perjanjian Bongaya oleh Sultan Hasanuddin, Perjuangan Fatahillah mempertahankan Batavia, Pertempuran Peta di Blitar yang dipimpin Supriyadi, Gerilya Jenderal Soedirman di atas tandu, kegigihan Cut Nyak Dien, Perang Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol, dan memasuki masa diplomasi dengan perjuangan berbasis pergerakan- ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Perjuangan inipun sesungguhnya dimulai dari keresahan sekumpulan mahasiswa STOVIA (Sekolah Dokter pada masa Belanda) yang melihat penderitaan bangsa Indonesia. Dan sejak itu mulailah berdiri perhimpunan serupa di tanah air, bahkan sampai ke mahasiswa do Netherlands yang mendirikan Indonesian Vereedniging (Perhimpunan Indonesia) dengan Moh. Hatta sebagai ketua. Sampai disana? Tidak, diorama di sisi ruangan luas inipun masih menceritakan perjuangan rakyat Indonesia setelah kemerdekaan, Agresi Militer Belanda, pemindahan ibukota Indonesia ke Yogyakarta, Dekrit 1959, Soekarno turun dari jabatan Presiden, Supersemar, sampai kepada reformasi di tahun 1998 dengan aksi mahasiswa menduduki kantor MPR di Senayan. 



           Sungguh pun, diorama itu masih ingin mengajakku untuk membaca kisahnya, namun waktu menunjukkan kami harus bergegas. Kami bahkan belum melihat dan mengambil moment dengan Monumen yang dibangun di masa Soekarno pada tahun 1961 ini. Matahari tersenyum bangga memamerkan sinarnya yang terik itu pada penghuni bawah langit, dimana hendak berteduh, tidak ada pohon di sekeliling areal Monas, kawan. Hanya ada payung warna-warni dari pedagang yang menjajakan oleh-oleh khas Monas dan panganan khas orang Betawi, kerak telor. Hhe.


          Di jam berikutnya, pukul 15.00 kaki kami menginjak lapangan Bandara Soekarno Hatta. Hhufh, harus pulang ya? Diiringi ucapan terima kasih pada guide dan supir yang menemani kami melanglang kota Bandung dan lambaian tangan, kami memasuki bandara untuk check in pulang ke negeri Lancang Kuning. Tiga hari yang tak terlupa. Bandung-Jakarta, bilakah kembali bersua?

                                                                              Pekanbaru, 2 Mei 2015        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPDP ATAU CPNS?: Behind The True Story~

Tak terasa tiga tahun berlalu dengan cepat, ya. Iyap, tiga tahun lalu sejak aku terakhir menulis di sini. Melihat semuanya jadi tampak asing sekarang, sedikit berdebu karena lama tak terjamah. Kalau diingat-ingat, tulisan terakhir juga terjadi di bulan April, ya. April 2018 – April 2021. Time flies, people change, and memories happen. Jadi, barangkali tulisan perdanaku usai vakum, aku akan sedikit merenung dan menceritakan apa – apa saja yang terjadi selama tiga tahun belakangan secara bertahap. Refleksi, terapi dan kontemplasi. April 2018 kemarin, aku membahas tentang  Fresh Graduate: The Untold Dilemma . Saat tulisan itu rampung kutulis, aku benar – benar tak tahu kalau setelahnya adalah masa terberat melebihi peliknya memilih bekerja dengan gaji pas – pasan atau mencari beasiswa namun minim persiapan.😔😔😔 Peliknya kehidupan menanti di depan mata, indah dan nikmat kata mereka namun hancur lebur bagi aku yang menjalaninya. 💦 Juli 2018 Masih di tengah euphoria pernikahan seoran...

Cause Happiness is Simple

              Hidup adalah tentang pencarian tak berkesudahan. Pencarian akan jati diri, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Tentang bahagia, sungguh itu adalah perkara sederhana. Sebab, indikator bahagia tak teregistrasi dalam Satuan Internasional, jadi cukuplah perspektifmu yang menentukan. Ini definisi bahagiaku -(tertanggal 22-24 Mei 2015) Bahagiaku sederhana, sesederhana mendapat keluarga baru dari belahan bumi Nusantara, sesederhana melihat senyum dan mendengar opini mereka tentang tanah kuhuni, sesederhana menekuri detik yang melintas dengan cerita tak berutas, sesederhana hikmah bahwa belajar akan negeriku sejatinya tak berkesudah, sesederhana disadarkan bahwa semangat dan pantang menyerah   adalah konsekuensi realisasi atas impian yang tersimpan, but at last but not least, sesederhana kian merebaknya kagum an syukurkuku pada sang Rahiim atas kasih sayangNya tuk mengizinkan helaan nafasku merasa...

Kuroko Basketball : Friendship not just Term that We Ever Heard

  Gambar: Cover film Kuroko Basketball Film yang diadaptasi dari manga Kuroko no Basket (Basketball Which Kuroko Plays) ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang atlit basket bernama Tetsuya Kuroko.   Walau tak memiliki keahlian dalam dribbling, apalagi shooting (menembak), cowok berambut biru ini justru menjadi tim utama basket SMP Teikou yang memiliki lima anggota Kiseki no Sedai (Generasi Keajaiban), yakni Akashi Seijuroo, Aomine Daiki, Murasakibara Atsushi, Kise Ryota, dan Midorima Shintaro. Dan mampu membuat sekolah tersebut sebagai jawara di Kejuaraan Nasional Basket tiga kali berturut-turut. Tetsuya sendiri memiliki gelar anggota keenam Kiseki no Sedai, pemain Bayangan (the Phantom Sixth Players). Bagaimana bisa? Ternyata kemampuannya dalam passing (mengoper) tak diragukan oleh anggota Kiseki no Sedai, karena hawa keberadaannya yang lemah dan kemampuannya dalam mengalihkan pandangan lawan (misdirection). *seperti trik sulap gitu* [Well, au...