Langsung ke konten utama

KOMPETISI


30 November 2015
          Matahari bersinar hangat di atas lahan SMK Taruna Pekanbaru, tempatku menimba ilmu Program Pengalaman Lapangan 2. Aku menikmati suasana tenang sekolah lantaran semua murid tengah belajar di dalam kelasnya sekarang. Aku menekuri corak-corak cokelat-hitam-hijau tua yang dilukis di seberang halaman. Goresan khas Loreng-loreng seragam Angkatan Darat. Tiba-tiba Hp ku berdering. Sebuah messenger masuk.
“Aku juara harapan 1 nyo-,”
“Iya. Udah diumumkan ya? Yaah, no hp Az aja ketinggalan di rumah. Ada nama-nama juaranya dikirimkan sekalian?”
“Selamat ya J
“Apaan?”
“Gapapa”
Aku mematut pada layar. Terpaku. Orang yang paling kukhawatirkan sebagai saingan justru mendapat peringkat demikian. Aku mengetik.
“Oooh.. yah, Az berapa ya?”
“1”
“Tau darimana? Az saja belum baca pesannya.”
“Aminkan saja.”

          Jadilah hari itu hatiku bergelinjang tak mau tenang lantaran pengumuman yang kuragu hasilnya. Sampai pesan dari ketua FLP Ranting UR, abang M. Aditya masuk.

Screenshoot nama pemenang dari abang Aditya

“Selamat Azlina. Juara 1 Cerpen Bulan Bahasa UIR.” Ia bahkan langsung mengirimkan pesan dari panitia. Ah, luar biasa skenario-Nya. Alhamdulillah. Syukur tiada terkira. Ah ya, orang itu. Aku langsung mengetik pesan untuknya.
“Iya. Alhamdulillah kamu benar.”
“Alhamdulillah. Keren. Anda mengacaukan akhir tahun saya.”

         Aku tersenyum mengingat bagaimana proses kreatif cerpen yang mengangkat cerita misteri yang cukup terkenal di kabupatenku, Rokan Hulu, dan akhirnya memenangi Bulan Bahasa UIR ini. Ya, kisah misteri tentang hantu “Hangau”. Aku pernah mendengar cerita ini tatkala saat SMA, sampai salah seorang muridku yang banyak menuturkan pengalamannya tentang hantu Hangau di kampungnya.

8 November 2015
Siang itu matahari bersinar terik dari biasa. Aku menikmati tempias cercahan cahayanya dari meja piket sembari membaca kumpulan cerpen bertajuk Hikayat Bunian dan sesekali melirik pada barisan Polisi Taruna yang tengah berlatih untuk persiapan Pentas Seni meski dipanggang matahari. Setelah dua kali berlatih, mereka lantas berhambur duduk di teras tempat aku menjaga meja piket. Melihat judul buku “khas misteri” yang kupegang, sontak beberapa anak menanyaiku tentang makhluk bunian yang cukup terkenal. Mereka antusias berbagi cerita tentang makhluk halus yang konon memiliki kaki terbalik itu. Salah seorang dari mereka, bahkan sampai menceritakan kisahnya padaku.
“Kalau dikampung saya ada hantu yang berbau, Bu.”
“Iya? Dimana kampung kamu?”
“Rokan Hulu, Bu.”
“Oh, iya. Ibu pernah dengar. Dia suka melintas di perkampungan kan? Biasa muncul saat musim durian? Aduh, Ibu lupa apa namanya.”
“Bukan, Bu. Nggak jelas juga kapan dia munculnya. Hantu ini muncul dari pemilik susuk yang gak dicabut susuknya, Bu. Iya, saya juga lupa apa namanya.” jawabnya. Kami berdua sibuk mengingat nama hantu itu. Ketika berkeliling untuk mengecek kelas yang tidak ada gurunya, barulah aku mengingat nama hantu itu. Hangau, ya hangau!
Hari-hari berikutnya diisi dengan aku yang sibuk mewawancarai siswa yang bergabung di tim Pasukan Khusus SMK Taruna ini. Ya, meski baru bisa mewawancarainya di sela-sela latihan ataupun saat istirahat. Aku hanya tersenyum, bila tetiba dia di hadapanku dan bertanya,
“Cerita apa lagi kita hari ini, Bu?” tanyanya. 


“Vika Mahyuda. Kemari.” Panggilku saat dia melintas di depan meja piket dengan seragam bengkelnya. Aku menyodorkan handphone yang berisi pengumuman nama pemenang lomba cerpen. Dia membaca dan berkerut di keningnya.
“Cerpen Ibu tentang Hangau juara 1. Terimakasih ceritanya ya.” Kataku.
“PJ nya jangan lupa, Bu.” Katanya menyerahkan hp sambil tertawa. Ah, tak kusangka akan kuperoleh nartasumber cerita di tengah pengabdianku ini.
***

5 Desember 2015
“Dan kini saatnya, pengumuman Pemenang Lomba Cerpen Mahasiswa tingkat Nasional Bulan Bahasa UIR 2015. Juara Harapan 3, Yudhi Muchtar dari FISIP UNRI.” MC membacakan nama pemenang dengan lantang. Aku sesekali tersenyum melirik Siti yang sedari tadi menyenggol lenganku. Iya cekikikan melihatku yang tampak gugup menanti namaku dipanggil.

Terima kasih untuk selalu menemani :)
“Juara Harapan 1, Ardilo Indragita dari FKIP UNRI. Kepada nama pemenang yang dipanggil diharapkan agar maju ke atas panggung.” teriakan MC lantas membuat pemenang yang telah dibacakan namanya segera tegak dan melangkah naik ke podium. Termasuk sainganku. Namun ia tak melangkah ke panggung, melainkan masih berdiri di depan kursinya.
“Dan Juara 1 diraih oleh Nur Azlina Oktavianti dari FKIP UNRI.” Siti bertepuk tangan tepat di depan mukaku. Kulihat sainganku menoleh dan mengangguk bertepuk tangan. Aku berdiri dan berjalan menuju ke atas panggung.
“Selamat, ya, yang juara 1,” katanya seolah ikhlas karena ia kalah di duel lomba menulis yang entah sudah berapa kali kami ikuti. Aku mengangguk.
“Eheem, permisi, juara 1 mau lewat,” aku tersenyum. Ardilo mengangguk dan memberiku jalan.
“Ah, akhirnya bisa senyum naik ke atas panggung.” kataku.
“Iya. Karena menang. Tengok aja besok.” jawabnya tak mau kalah. Aku mengangguk dan tertawa.
Bersama para juara Bulan bahasa UIR 2015

Usai acara, kami menyempatkan mengambil beberapa foto sebagai kenangan, maklum, di acara ini FLP Ranting UR seperti “panen” piala. Alhamdulillah, empat piala sekaligus. Dua dariku, yakni cabang Lomba Kisah Inspiratif dan Penulisan Cerpen, dari Ardilo untuk Penulisan Cerpen dan dari adik Mailander Ayu Pratiwi untuk juara Harapan 2 Penulisan Puisi. Fabiayyi ‘alaa irabbikuma tukadziban.

Here, we are :)

Dari kami untuk FLP Ranting UR

***

6 Desember 2015
Minggu selalu menjadi weekend yang dinanti semua orang. Jika orang lain menghabiskan hari dengan berpelesir melepas penat, maka aku menikmati Minggu dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarga Kemkominfoers di sekretariat BEM Universitas Riau. Tatkala sedang membahas dan mengevaluasi progker yang tengah kami jalankan, hp ku berdering. Sebuah nomor memanggil. Aku tertegun. Seingatku tak banyak orang yang tahu nomorku ini.
“Siapa ya?”
“Ini temannya Nur Azlina.”
“Iya. Ini siapa?” Usai menyelesaikan kalimatku, aku baru merasa familiar dengan suara ini. “Eh, abang. Maaf, abang. Az lupa suara abang.” Iya, dia ketua FLP Ranting UR.
“Yasudah, lagi dimana sekarang? Kami sedang ngumpul di balai bahasa UR ini. Sinilah.”
“Nanti ya, bang, Az nyusul. Sekarang sedang rapat Kominfo di BEM.”

Dan pembicaraan kami pun usai. Rapat berlanjut hingga azan Ashar kemudian berkumandang di tengah rinai hujan mengguyur semesta yang kebasahan. Lamat, rintik menyudahi aksinya. Kami mengakhiri pembahasan progker dan berpencar ke tempat dan agenda masing-masing. Aku meluncur ke balai bahasa. Kehadirankku disambut senyum-senyum mereka, tiga orang sahabat FLP, abang Adit, dan Ardilo.
“Eh, berasa gimana gitu ya, bang, lihat orang yang jarang hadir tiba-tiba datang.”
“Eh, jangan gitu Azlina. “ jawab abang Adit.
“Saya tahu. Saya tahu.” Jawab yang merasa disindir.
“Abang, sayang kemarin abang gak datang ketika penganugerahan. Gak lihat senyumnya Az merekah bukan main. Akhirnya bang, akhirnya….” Ceritaku menggebu-gebu. Ardilo tertawa.
“Ya ampun, lihatlah bang, sedendam itu dia. Wah, dah berapa lama tu ya, bang. Enam bulan sejak acara FKIP Celebration Mei kemarin dia memendam dendam, bang.”
“Biarin. Akhirnya Az menang dari Dilo.” Jawabku. Abang Adit yang selalu seperti dulu, hanya terkekeh melihat perdebatan sengit kami.
“Ehem, jadi sapa yang paling banyak poin juaranya?” tanya beliau.
“Dilo lah bang. Juara 1 Bulan Bahasa UR, Juara 1 Antologi Nasional….”
“Nggak. Az kan, bang. Juara 3 LKTI UNY, Juara 1 Cerpen Bulan Bahasa UIR, Juaa 3 Kisah Inspiratif. Eh, banyaklah, gak bisa disebutkan.” Kataku gak mau kalah.
“Iya.. iya… kalian berdua hebat.” Tiga orang sahabat FLP yang mungkin melihat perdebatan kami bakal menggeleng tak mengerti.
“Iya, adik. Mereka juga sudah begini dari dulu. Sengit persaingannya.” terang bang Adit bijak.
“Ini tahun terakhir kami. Setelah ini kalian lagi yang melanjutkan meraih juara-juara di lomba sastra UR, ya.” Kataku tersenyum. Iya, tahun terakhirku sudah menjelang. Setelah ini aku akan berkutat dengan seminar demi seminar, proposal hingga tugas akhir bernama skripsi. Ah, termasuk persainganku dengan orang ini. Mungkin dua tahun kemudian, aku akan sejenak merindukan riuh tatkala berkumpul dengan keluargaku di FLP Ranting UR, berbagi info lomba, mengaku kami yang terhebat dengan peraihan juara atau terbit media. Ah, setiap keluargaku di UR punya kisah tersendiri.
***

8 Desember 2015
Aku memandangi piala di atas rak. Juara 1 Bulan Bahasa UIR. Aku tersenyum mengingat bagaimana ada kesah-lelah yang tertumpah sebelum satu kata dari cerpen yang dapat kujadikan sebagai pembuka cerita. Kala itu, minggu kedua November baru saja akan bermula....

Malam menggelar kelam. Aku masih sibuk dengan pencarian ide yang tak menemukan hasilnya. Sebuah messenger dari Ardilo masuk.
“minta cerpen Az.”
“belum buat.”
“Ya Allah, ngapain aja dari kemarin.”
“Astaghfirullah. Gitu banget ngomongnya.”
“Biarin aja.”
“Kalau kali ini Az gak ikut lomba cerpen bareng kalian, boleh? Dah lama tak buat cerpen.”
“Terserah Az aja.”
Tanganku kelu hendak menekan baris keyboard sebagai jawabnya. Ah, aku membenamkan kepalaku. Mencecari inspirasi sebagai inti cerita. Apa? Apa? Kini sudah jelang 2 minggu deadline pengumpulan naskah ke panitia bulan bahasa. Apa sebaiknya memang aku tak ikut saja?
***
Sore itu usai hujan yang mengguyur bumi di hari Minggu pertama bulan kesebelas. Beberapa orang sahabat FLP telah lebih dulu berpamitan. Tinggal aku, Arif, Mailander dan abang Adit yang tersisa di sekre kami.
“Sudah berapa lama gak buat cerpen Az?”
“Eh, baru beberapa hari yang lalu. Sudah abang baca cerpen yang Az kirim ke email abang?”
“Sudah. Sudah berapa lama gak buat cerpen Az?”
Aku bingung menanggapi pertanyaan berulang bang Adit.
“Terakhir bulan bahasa FKIP Celebration bang. Kekira enam bulan yang lalu.”
“Itu yang abang tanyakan. Hhm… membaca cerpen Az seolah membaca cerpen ketika Az baru pertama kali membuat cerpen. Ceritanya terlampau datar. Az sudah baca cerpen Dilo untuk Bulan Bahasa UR yang menang kemarin?” Aku menggeleng.
“Perkembangan Dilo pesat. Az tertinggal jauh. Mungkin karena efek beberapa bulan ini Az fokus ke Lomba KTI. Jadinya diksi Az jarang terasah lagi. KTI dan cerpen itu dua hal yang berbeda jauh, Az. Cerpen itu karya tulis fiksi, memainkan imajinasi. Kalau KTI itu nonfiksi, bahasanya lebih ilmiah. Az mengerti, kan?”
Aku mengangguk. Ah, apa kabar sainganku? Sudah semakin pesat dirimu, ya?
“Entah setelah ini Az masih bisa bersaing dengan Dilo lagi atau nggak. Kita lihat saja. Abang seperti kehilangan adik-adik abang yang dulu sering bertengkar masalah siapa yang lebih hebat. Az kemana?”
Deg! Az kemana? Tanya yang membuatku bingung harus menjawab apa. Iya, kami kemana? Sudah berapa lama? Aku tersenyum simpul. Seingatku sejak aku ketagihan menulis Karya Tulis Ilmiah usai menjadi finalis FKIP Celebration, aku mulai menggandrungi cabang sastra itu. Aku terhenyak.
“Az nggak kemana-mana, bang. Az hanya ketagihan buat Karya Tulis Ilmiah. Setelah bulan Mei itu, Az teratur ikut lomba KTI. Ada sekitar 3 lomba yang Az ikuti, termasuk yang gagal ke Semarang dan terakhir di Yogya kemarin. Dua bulan lalu juga fokus menyiapkan dua proposal PKM (Program Kreativitas Mahasiswa). Jadi, benar-benar tak menyentuh cerpen lagi. Dilo aja yang fokus ke cerpen. Dan kami tampaknya mulai sibuk di dunia masing-masing, bang.” Jawabku.
“Iya. Kan, sudah abang tanyakan kemarin, Az mau fokus dimana?”
Aku menggeleng. Buram. Dunia tak dapat kueja. Aku menekuri KTI pun karena terpaut pada satu janji dan aku menyukainya. Termasuk sukaku pada cerpen. Ah, pilihan yang sulit. Aku berpamitan pulang pada bang Adit karena aku masih memiliki janji dengan orang lain.

Aku beranjak menemui kak Elysa Rizka Armala. Kakak fenomenal yang sudah mencicipi dunia tulis menulis bidang apa saja. Kakak Elysa juga pengurus FLP Pekanbaru. Di sela-sela pemotretan untuk isi blog-nya, aku menuturkan ceritaku dan beliau hanya tertawa.
“Adek Az persis seperti kakak. Kakak juga dulu ditanyain begitu. Tapi kakak bilang, ‘El ga bisa fokus, bang. El suka semuanya.’ Gitu kakak jawab ke bang Adit dek.”
“Iyakah kak? Dan kakak mampu?”
“Iya. Setiap aliran dalam sastra itu menurut kakak memiliki keterkaitan. Misalnya saat menulis cerpen kita banyak menggunakan permainan kata dan di puisi dengan metafora, ya, cara itu yang kakak pakai buat LKTI agar karya kita lebih enak dan indah dibaca. Memang KTI itu karya tulis ilmiah dan alirannya non fiksi, namun karena udah terlatih dengan pemilihan diksi di cerpen maupun puisi, kita jadi terbiasa menentukan kata yang akan digunakan dalam karya tulis ilmiah. Pengulangan bunyi misalnya. Jadi lebih indah.”
Aku manggut-manggut.
“Kita ini orangnya penasaran dek. Suka mencoba hal-hal baru. Bagaimana kalau saran kakak, adik jangan terjebak pada satu pilihan. Namun lakukan penyesuian, semacam improvisasi begitu.” Aku mengangguk. Great idea, kak Elysa! Ah, untuk kesekian kalinya. Aku semakin terkagum dengan juara 3 Mahasiswa Berprestasi Universitas Riau tahun 2014 itu. J

Ya, piala ini bukan hanya milikku. Ada semangat banyak orang disini. Benar kata kak Elysa, daripada terjebak dalam satu pilihan, mengapa tak memilih untuk fokus dalam banyak pilihan. Sulit memang, namun lakukan penyesuaian. Ah, kita tak dapat membayangkan masa depan itu seperti apa. Semuanya ditentukan dari apa yang kita lakukan sekarang. Dan yang aku lakukan sekarang menuliskan hal-hal hebat yang kualami, agar dapat kukenang saat masa depan. Barangkali bila kurasa aku tak begitu berbaikan dengan masa depan, aku dapat memperbaiki semangat dengan bercermin dengan kisah hebatku saat sekarang –yang akan menjadi masa lalu. Benar, bukan?
Tak perlu menulis menggunakan banyak diksi, cukup jujur pada diri sendiri. Bukankah menulis itu mudah.

Pekanbaru, 12 Desember 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPDP ATAU CPNS?: Behind The True Story~

Tak terasa tiga tahun berlalu dengan cepat, ya. Iyap, tiga tahun lalu sejak aku terakhir menulis di sini. Melihat semuanya jadi tampak asing sekarang, sedikit berdebu karena lama tak terjamah. Kalau diingat-ingat, tulisan terakhir juga terjadi di bulan April, ya. April 2018 – April 2021. Time flies, people change, and memories happen. Jadi, barangkali tulisan perdanaku usai vakum, aku akan sedikit merenung dan menceritakan apa – apa saja yang terjadi selama tiga tahun belakangan secara bertahap. Refleksi, terapi dan kontemplasi. April 2018 kemarin, aku membahas tentang  Fresh Graduate: The Untold Dilemma . Saat tulisan itu rampung kutulis, aku benar – benar tak tahu kalau setelahnya adalah masa terberat melebihi peliknya memilih bekerja dengan gaji pas – pasan atau mencari beasiswa namun minim persiapan.😔😔😔 Peliknya kehidupan menanti di depan mata, indah dan nikmat kata mereka namun hancur lebur bagi aku yang menjalaninya. 💦 Juli 2018 Masih di tengah euphoria pernikahan seoran...

Cause Happiness is Simple

              Hidup adalah tentang pencarian tak berkesudahan. Pencarian akan jati diri, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Tentang bahagia, sungguh itu adalah perkara sederhana. Sebab, indikator bahagia tak teregistrasi dalam Satuan Internasional, jadi cukuplah perspektifmu yang menentukan. Ini definisi bahagiaku -(tertanggal 22-24 Mei 2015) Bahagiaku sederhana, sesederhana mendapat keluarga baru dari belahan bumi Nusantara, sesederhana melihat senyum dan mendengar opini mereka tentang tanah kuhuni, sesederhana menekuri detik yang melintas dengan cerita tak berutas, sesederhana hikmah bahwa belajar akan negeriku sejatinya tak berkesudah, sesederhana disadarkan bahwa semangat dan pantang menyerah   adalah konsekuensi realisasi atas impian yang tersimpan, but at last but not least, sesederhana kian merebaknya kagum an syukurkuku pada sang Rahiim atas kasih sayangNya tuk mengizinkan helaan nafasku merasa...

Kuroko Basketball : Friendship not just Term that We Ever Heard

  Gambar: Cover film Kuroko Basketball Film yang diadaptasi dari manga Kuroko no Basket (Basketball Which Kuroko Plays) ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang atlit basket bernama Tetsuya Kuroko.   Walau tak memiliki keahlian dalam dribbling, apalagi shooting (menembak), cowok berambut biru ini justru menjadi tim utama basket SMP Teikou yang memiliki lima anggota Kiseki no Sedai (Generasi Keajaiban), yakni Akashi Seijuroo, Aomine Daiki, Murasakibara Atsushi, Kise Ryota, dan Midorima Shintaro. Dan mampu membuat sekolah tersebut sebagai jawara di Kejuaraan Nasional Basket tiga kali berturut-turut. Tetsuya sendiri memiliki gelar anggota keenam Kiseki no Sedai, pemain Bayangan (the Phantom Sixth Players). Bagaimana bisa? Ternyata kemampuannya dalam passing (mengoper) tak diragukan oleh anggota Kiseki no Sedai, karena hawa keberadaannya yang lemah dan kemampuannya dalam mengalihkan pandangan lawan (misdirection). *seperti trik sulap gitu* [Well, au...