Assalamualaikum,
Ahad.
Membuka
hari ini, gue mengawali dengan kalimat : “New Day. New Hope. New Goal!”
diiringi lagu Day Dream-nya Jhope BTS. Kali ini gue mau bahas sedikit opini
gue, karena merasa terpanggil dengan realita yang akhir-akhir mengusik gue.
Yap, instagram.
Pernah
nggak sih kalian merasa, atau barangkali mendengar selentingan seperti,
“Enak
ya si Fulan, kayaknya hidup dia asik banget. Lihat aja postingan di
Instagramnya, jalan-jalan trus. Atau nggak hangout ke cafe bareng
temen-temennya. Nggak ngerasain kali ya susahnya nyari uang!”
“Keren
deh prestasi si Anu, udah kuliahnya cemerlang, prestasinya banyak,”
“Lah,
tapi postingan kamu lagi di mana-mana. Tapi kok malah disini,”
“Nggak
usah nanya kabar dia. Cek aja instastorynya. Tau deh kabar dia gimana. Kemarin
kulihat postingannya lagi travelling, pasti baik-baik aja dia!”
Yaah,
some statement kayak begitu lah. Pernah? Pernah nyinyir begitu atau
pernah dinyinyirin? Hahaaa..
Instagram dan
Standar Eksklusifnya
Jadi
kemarin gue habis baca artikel yang bunyinya begini,
“Ada
seseorang yang cantik dan pandai menggunakan make-up, sehingga ia sering share
pengalamannya dalam bentuk tutorial make up di Instagram. Lama kelamaan ia jadi
memiliki banyak follower dan jadilah selebgram. Padahal di dunia aslinya, ia
adalah seseorang yang introvert dan tak memiliki banyak teman,”
See? Selamat datang ke dunia maya,
dimana teman-teman kamu tak jarang adalah kamuflase dari kepribadian aslinya.
Terlepas itu kisah nyata atau fiktif belaka, pasti ada segelintir orang yang
menjadikan Instagram sebagai sarana pencitraan bahawa kehidupan dia ‘baik-baik’
saja dan diidamkan semua orang.
Siapa
yang tahu, dibalik gelak tawa dari foto yang diposting, ia sedang berantem
dengan temannya, atau ada masalah di keluarganya. Atau di balik foto glamour
ala kaum sosialita Reality Show ‘Girls Squad’ dengan nongki
cantik menyeruput kopi ditemani novel (yang ntah sebagai outfit atau
beneran dibaca), uang yang digunakan ternyata pinjaman teman (kali aja adaaa). Who
knows?
Perlahan
tapi pasti, masyarakat milenial mulai menetapkan indikator kebahagiaan dilihat
dar jumlah likes atau komentar orang yang disematkan pada postingannya.
Jika nggak banyak yang like or comment, berarti kurang famous,
nggak eksis, cupu, ga gahoel dan nggak nggak yang lainnya. Semu belaka,
gak sih? Padahal yang sebenarnya tau kita bahagia atau nggak, kita sendiri
bukan? Apa perlu kebahagiaan itu dipublikasikan.
‘Wahai
jagad raya Instagram, aku sedang bahagia sekarang. Lihatlah postinganku,’
Yaa,
nggak dengan caption itu juga sih. Tapi begini,
‘Alhamdulillah
ya Allah, rezeki yang tak terduga. Akhirnya aku bla bla’ lalu buat novel-lah dia di
postingannya itu. Nggak ketinggalan dengan foto keroyokan (asli, ini gue juga
pernah ngelakuin kok. Serius, gue sedang nge-judge diri gue sendiri saat
ini). Sampai gue lupa, barangkali orang yang lihat postingan gue ada yang
sedang berjuang mewujudkan mimpinya, atau dia punya kehidupan yang nggak
seberuntung gue, atau dia sedang ditimpa musibah. Sometimes gue lupa
dengan orang-orang seperti itu.
‘Instagram
itu media sosial kali, bukan Dinas Sosial. Postingannya suka-suka yang punya
akun dong, kalo nggak suka, DC aja. Atau block sekalian!’
Wahaai,
bermacam kelaku umat, ya. Ini serius buat dilema, diblock beneran dibilang
memutuskan tali silaturahmi, dilanjutkan: buat sakit mata karena beranda tak
jarang isinya status dia yang dimata gue unfaedah semua. (Finally, gue
mulai ga berhubungan baik dengan Facebook karena pertemanan gue di facebook
berisi orang-orang dengan postingan beraneka rupa, yang jarang ada faedahnya,
yang gue sendiri juga lupa kapan invite/accept pertemanan dengan mereka.
Last, maaf, jalan ninja kita berbeda).
‘Halaaah,
lu sirik kan lihat postingan orang. Coba tengok deh, postingan lu gimana!’
Iya,
gue ngakuin postingan gue juga pernah sealay itu pada zamannya. That’s why,
gue sekarang kalo posting cukup dengan caption satu kalimat. Nggak perlu
mengisahkan kisah Behind the Scene terciptanya foto itu. Atau sekedar ngutip
quotes yang pas banget dengan keadaan yang gue rasakan. Makanya sering
terjadi ketidakyambungan antara caption dan foto. Dan gue sekarang juga makin
jarang posting foto. Seminggu belum tentu sekali.
Balik
ke subtema ‘Instagram dan Standar Eksklusifnya’, maka wajarlah kalau pada hari
ini perpecahan terjadi dimana-mana. Karena sebait kalimat, muncullah prahara di
semesta dunia maya, yang barangkali hanya sebatas perbedaan perspektif saja.
Dan hebatnya lagi, kawan berantemnya itu tak jarang astral. Ya astral, lu nggak
kenal siapa dia, tapi lu dah sampai maki-makian sama dia. Apalagi kalau
ujung-ujungnya bawa UU ITE. Astaghfirullahal’adzhim~
Lelah,
Istirahatlah Instagram~
Beberapa
hari ini akhirnya gue ambil keputusan untuk ‘mengistirahatkan’ aplikasi besutan Kevin Systrom dan Mike Krieger tersebut. Gue
bener-bener buka Instagram sekedar melihat postingan fanbase Bangtan Sonyeondan
(BTS). Setelah itu langsung gue logout. Buat perjanjian dengan diri gue
pribadi, buka instagram cukup saat malam hari.
Nyadar
nggak sih, dengan lihat Instagram buat kita makin nggak produktif. Lagi ngumpul
dengan kawan, bukannya cerita, malah sibuk unggah foto meet up, share
instastory makanan yang diorder, share location, bla bla bla. Yang
padahal tujuan asli lu ketemu kawan itu mau cerita, kan? Berkurang deh quality
time kalian.
Dengan
instagram juga kita seolah menjadi hakim yang paling tahu kehidupan seseorang
berbekal satu postingan. Nggak usah jauh-jauh, kasus viralnya keluarga pak
Dendy, membuat kita terbagi menjadi tiga kubu yang mendukung Bu Dendy, pak
Dendy dan si p*lakor. Kita sibuk menghakimi siapa yang benar dan siapa yang
salah, terus-terusan mengghibah, padahal bisa jadi orang yang kita ghbah telah
bertaubat. Tinggallah kita dengan kisah ghibahan kita dan pahala kita yang
sudah mengalir ke orang kita ghibahkan Apalgi sampai share itu postingan
ke akun pribadi. Astaghfirullahal’adzhim~
And
last opinion, kenapa Instagram buat kita nggak produktif? Karena waktu yang
bisa kita gunain untk hal-hal yang berguna, justru habis hanya sekedar untuk
membahas dan memikirkan hal-hal yang nggak penting. Apalagi kalau sampai
membandingkan hidup kita. Aduh, jadi makin berkurang syukurnya. Padahal kita
nggak tahu what the real life that happened with them.
Maka,
yuk, sejenak mengistirahatkan diri dari Instagram. Nggak perlu sampai langsung
delete account dan putus hubungan. Cukup dengan mengurangi
intensitas menjenguk instagram, misalnya. Maka semoga ke depannya kita menjadi
pribadi yang lebih menghargai hidup, dengan mensyukuri hal-hal sederhana yang
kita terima hari ini. Karena bahagia hanyalah soal kebijakan hati dan fikiran
kita, umpama menyadari bahwa bisa jadi hidup ini adalah hidup yang orang lain
impikan, sehingga kita baik-baik menjalaninya. Agar kelak jika ini berakhir,
kita dapat mengakhirinya tanpa penyesalan.
Akhirnya.
Selamat berakhir pekan. Siap puasa Instagram?
Suatu
pagi yang cerah, 4 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar