Langsung ke konten utama

Fresh Graduate: Dilema Bekerja atau Lanjut Studi


Assalamu’alaikum bulan keempat di kalender yang diidentikkan dengan Spring Month. Namun tahukah, April berasal dari bahasa Latin, aperire, yang berarti membuka. I think that’s why, the flowers blossom in April, karena mereka (bunga) sedang membuka kelopaknya.

Be nice for me~
 
Anyway, ini tulisan keenam gue di tahun 2018, yang menjadi pertanda lunasnya hutang tulisan di tiga bulan sebelumnya (Resolusi 2018 ini salah satunya rajin menulis blog, minimal update 2 tulisan sebulan) Yaah, namanya juga mental orang Indonesia yaah, ambil yang minimal aja~
Okee, cukup sudah untuk opening part-nya. Sesuai judul, kali ini gue akan mengupas problem yang lazim dihadapi fresh graduate di luar sana. Yah, kalo menurut rules, mereka yang dikatakan fresh graduate itu adalah orang yang telah menyelesaikan kuliah maksimal dua tahun. Jadi, limit bagi sebutan fresh gradute ini hanya 2 tahun pasca wisuda. Yaaah, saat ini gue masih masuk kategori dong ya~
Ok. Forgot it. Next, serious mode ON.

Graduation euforia!

Begitu tali toga dipindahkan oleh pihak kampus, maka saat itu adalah dimulaiya selebrasi penyambutan ‘Selamat Datang ke Dunia Baru’. Seperti yang pernah gue ceritakan di postingan sebelumnya, kalo gue juga pernah bingung antara Studi Lanjut atau Bekerja. Cek aja di Cerita Fresh Graduate yang Tak Terungkap
Next, izinkan gue cerita sedikit dulu ya.

Nah, jadi di suatu waktu, ketika sedang pengurusan berkas kompre, bulan Juni atau Juli 2016, antara itu, gue ketemu salah satu senior gue yang baru saja menyelesaikan perkuliahan magisternya. Yah, gue langsung cerita banyak hal ke beliau, termasuk kegalauan yang menghampiri gue.

“Kak, gimana rasanya setelah tamat S2?”
“Alhamdulillah. Campur aduk yaa, dek. Ada seneng, ada pusingnya. Yang namanya fresh graduate, pasti dipusingin sama applying job, right?”
“Iyap. Bener kak. But, menurut kakak, lebih mudah nyari kerja pasca S2 atau setelah S1?”
“Jujur, kalau menurut kakak lebih mudah nyari kerja bagi kalian yang lulusan S1, dek. Kenapa? Karena kalian itu masih muda, masih bisa trial and error . Ga suka pekerjaan ini, bisa resign dan nyoba nyari pengalaman di bidang lain. Karena masih muda. Selain itu, kalau udah lulusan S2 ini, perusahaan/instansi cenderung takut mau nerima. Pikir mereka, ‘mau digaji berapa? Karena pendidikan mereka sudah tinggi~’ Ya jadi rada gampang susah-susah juga buat nyari kerja pasca S2. Mau jadi dosen, tau kan pembukaan penerimaan dosen itu langka banget. Belum lagi saingannya. Yah, seperti itulah.”
“Jadi mikir mau S2 yaa kak. Hahaa..”
“Semua itu tergantung dek. Rezeki tiap orang kan beda-beda. Nah, banyak juga, ketika mereka lulus S1 semangatnya membara mau lanjut studi. Nah, sekalinya dah dapat pekerjaan, dah ngerasa enaknya nerima gaji, mulai deh terjebak dengan comfort zone. Mulai malas mau daftar S2, sampai akhirnya nggak jadi. Intinya, semua itu bergantung pada diri sendiri juga~” tambah beliau.

Singkat cerita, begitulah pertemuan dan sedikit cuplikan dialog gue dengan salah satu senior kala itu. Then, karena sudah pernah mengalami fase dimana galau antara Lanjut atau Cari Kerja, ini sedikit gue bagikan opini gue. Hope it can help you to choose the best decision~

Tanyakan Hatimu
Coba sesekali merenung sendiri. Mana yang menurutmu lebih baik, lanjut atau bekerja. Bagi mereka yang mempunyai adik/orang tuanya mulai butuh bantuan, mungkin akan lebih baik untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu, kan? 

Ask yourself first
Fikirkan juga target jangka panjang yang mau diambi. Target sukses, nikah, punya usaha, dan lain-lain. Jangan sampai ntar pas udah stess mikirin tesis, then you compare yourself with your friends who have a good position in their career. Kan nggak lucu, tuh.
Kalau bisa, jauh sebelum kompre, atau sebelum masuk semester 8, udah buat pemetaan hidup yang real kayak begitu. Jadi sekalinya lulus, udah tau apa yang harus dilakuin.

Cari Pekerjaan itu Sulit
Overall, nggak semua orang mengalami sulitnya nyari pekerjaan begitu gelar sarjana di tangan. Makanya, akan lebih bagus kalo sudah mulai kerja part-time ketika sedang kuliah. Jadi begitu lulus, setidaknya masih ada ‘pegangan pekerjaan’.
Trus nggak usah terlalu idealis, mau kerja yang linear dengan ilmu yang dipelajari. Come on guys, belajar aja dulu. Nikmatin. Ntar kalo udah punya pekerjaan, ternyata ada ‘rumput lain’ yang lebih hijau dan menjanjikan, bisa resign kan?
Setelah kamu merasakan sulitnya mencari pekerjaan, coba bayangkan bagaimana nanti setelah S2~

Job seeker!

In case, pengalaman gue. Karena background gue Keguruan, of course lapangan pekerjaan buat gue, lazimnya ya ngajar, dong. Nah, beberapa sekolah (terutama sekolah negeri), mereka lebih welcome menerima lulusan S1 ketimbang S2. Karena mereka tentu akan memprioritaskan guru senior di sekolah itu kalau masalah pembagian jam ngajar~ Jadi kebanyakan guru baru ini, masih sedikit jam ngajarnya. But, sometimes kalo di sekolah swasta, mereka akan lebih welcome sama orang yang lulusan S2. Karena sekolah swasta memang mengedepankan kualitas.
Nah alasan terbesar sekolah ragu mau menerima  lulusan S2 karena mereka (sekolah) berpikir ‘mau digaji berapa para lulusan S2 ini?’ (Ini kata senior gue. I thought based on their story). Lain cerita kalau emang kita ngajar di sekolah itu. Trus dapat chance lanjut S2, begitu lulus, sekolah tersebut pasti akan menerima kita. Kenapa? Karena mereka sudah tau track record kita. Begitu juga di perusahaan/instansi.

Bekerja = Cari Pengalaman
Ada beberapa jenis scholarships yang mensyaratkan pelamarnya sudah memiliki pengalaman bekerja. Beasiswa Tanoto Foudation (studi lanjut S2) misalnya. Karena apa? Karena orang yang sudah bekerja cenderung mampu menilai diri dan lingkungannya.
Lazimnya para fresh graduate ini masih idealis (gue ngerasa kok dulu begini). Tak jarang merasa dirinya paling pandai. Pada beberapa kasus, loh ya~ Namun, ketika kamu menjalani kehidupan di dunia kerja, idealis kamu akan berkurang sedikit demi sedikit. Semoga dalam artian baik,~
Pengalaman gue, ketika gue baru lulus dan jadi guru, gue yakin kalo permasalahan di dunia pendidikan biasanya dikarenakan minimnya penggunaan media pembelajaran, mode pembelajaran, strategi dan lain-lain. Setidaknya begitu, kata teori pendidikan yang diajarkan di bangku kuliah.
But, ketika terjun langsung, gue baru sadar kalo permasalahan pendidikan Indonesia itu kompeks banget! Mulai dari rendahnya minat belajar anak, minimnya pengetahuan orang tua terhadap perkembangan anak, ketidakpedulian keluarga terhadap pendidikan anak bahkan sampai ada juga orang tua yang skeptis memandang pendidikan. Namun nggak ada yang lebih legend dari: orang tua yang udah nyerah sama kelakuan anaknya dan ‘nyerahin’ anaknya dididik di sekolah, sekali tersandung masalah sedikit, orang tua mencak-mencak nyalahin guru. Serius, ada begitu: adaaa!
Fyi, gue nggak pernah tahu semrawutnya pendidikan kita sampai begitu. Alhamduillah sejak kecil ortu gue selalu support kalo masalah pendidikan dan gue dikelilingi temen-temen yang emang rajin belajar, ya meskipun ujung-ujungnya banyak ngerumpi (forgot it!)
Yaah, but that was called experience, right? Nah, jadi one day, kalo gue ada chance buat lanjut, sedikit banyaknya orientasi goal gue berubah. Maksudnya, bukan lagi: dengan lanjut studi, berarti gue telah mewujudkan mimpi gue, namun, berdasarkan pengalaman gue selama kerja, begitu gue dapet chance lanjut, ilmu/skill yang gue terima nantinya bisa gue aplikasikan bagi lingkungan maupun masyarakat.

Bekerja = Lebih Mampu Mengontrol Diri
Ketika kita kuliah, lazimnya kita dikelilingi oleh orang yang hampir sefrekuensi dengan kita. Ya, minimal mereka yang masih concern dengan dunia pendidikan. Tak jarang juga, masih sebaya. Nah, hal-hal yang begini tentu meminimalisir konflik yang ada.
Berbeda ketika kerja dan terjun langsung ke masyarakat. Kita akan menemui orang-orang yang beragam, mulai dari beda usia, beda perspektif, status sosial, finansial, suku, agama, dan lain-lain, yang membuat kita bener-bener harus berhati-hati. Terlebih mengontrol agar tahu ‘menempatkan’ diri.
Pengalaman seperti itu yang nantinya membuat kamu semakin dewasa dan kritis, bakal bermanfaat banget buat jadi pegangan, kalo nantinya kamu diletakkan di daerah yang lebih heterogen.
 
Controlling your emotion

Nah, I think those were enough, yah, buat pertimbangan akan lanjut studi atau bekerja. Masalah kekonsistensi-an, balik lagi ke individunya. Kalo dia mampu ‘menjaga mimpi’, akan lebih baik mengejar karir dulu. Ketika posisi aman, baru lanjut studi.
Pun begitu, semoga bagi mereka yang saat ini tengah melanjutkan studi, benar-benar dapat memaksimalkan eksplorasi diri di tanah rantauan, jadi begitu kembali, nggak lagi pusing, “Jadi apa aku setelah ini?”
Semoga kita senantiasa dihadapkan pada jalan yang telah pilih dengan pemikiran yang matang. Finally, thank you for all lesson in March! And I’m ready to face a wonderful April!

Di Bawah Kolong Langit, 1 April 2018

Komentar

  1. Bagian "cek di http..." mungkin bisa menggunakan menu "Link". Tinggal masukin alamatnya, terus kata/kalimatnya bisa diganti. Lebih menarik, aku rasa. dah itu aja~

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPDP ATAU CPNS?: Behind The True Story~

Tak terasa tiga tahun berlalu dengan cepat, ya. Iyap, tiga tahun lalu sejak aku terakhir menulis di sini. Melihat semuanya jadi tampak asing sekarang, sedikit berdebu karena lama tak terjamah. Kalau diingat-ingat, tulisan terakhir juga terjadi di bulan April, ya. April 2018 – April 2021. Time flies, people change, and memories happen. Jadi, barangkali tulisan perdanaku usai vakum, aku akan sedikit merenung dan menceritakan apa – apa saja yang terjadi selama tiga tahun belakangan secara bertahap. Refleksi, terapi dan kontemplasi. April 2018 kemarin, aku membahas tentang  Fresh Graduate: The Untold Dilemma . Saat tulisan itu rampung kutulis, aku benar – benar tak tahu kalau setelahnya adalah masa terberat melebihi peliknya memilih bekerja dengan gaji pas – pasan atau mencari beasiswa namun minim persiapan.😔😔😔 Peliknya kehidupan menanti di depan mata, indah dan nikmat kata mereka namun hancur lebur bagi aku yang menjalaninya. 💦 Juli 2018 Masih di tengah euphoria pernikahan seoran...

Cause Happiness is Simple

              Hidup adalah tentang pencarian tak berkesudahan. Pencarian akan jati diri, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Tentang bahagia, sungguh itu adalah perkara sederhana. Sebab, indikator bahagia tak teregistrasi dalam Satuan Internasional, jadi cukuplah perspektifmu yang menentukan. Ini definisi bahagiaku -(tertanggal 22-24 Mei 2015) Bahagiaku sederhana, sesederhana mendapat keluarga baru dari belahan bumi Nusantara, sesederhana melihat senyum dan mendengar opini mereka tentang tanah kuhuni, sesederhana menekuri detik yang melintas dengan cerita tak berutas, sesederhana hikmah bahwa belajar akan negeriku sejatinya tak berkesudah, sesederhana disadarkan bahwa semangat dan pantang menyerah   adalah konsekuensi realisasi atas impian yang tersimpan, but at last but not least, sesederhana kian merebaknya kagum an syukurkuku pada sang Rahiim atas kasih sayangNya tuk mengizinkan helaan nafasku merasa...

Kuroko Basketball : Friendship not just Term that We Ever Heard

  Gambar: Cover film Kuroko Basketball Film yang diadaptasi dari manga Kuroko no Basket (Basketball Which Kuroko Plays) ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang atlit basket bernama Tetsuya Kuroko.   Walau tak memiliki keahlian dalam dribbling, apalagi shooting (menembak), cowok berambut biru ini justru menjadi tim utama basket SMP Teikou yang memiliki lima anggota Kiseki no Sedai (Generasi Keajaiban), yakni Akashi Seijuroo, Aomine Daiki, Murasakibara Atsushi, Kise Ryota, dan Midorima Shintaro. Dan mampu membuat sekolah tersebut sebagai jawara di Kejuaraan Nasional Basket tiga kali berturut-turut. Tetsuya sendiri memiliki gelar anggota keenam Kiseki no Sedai, pemain Bayangan (the Phantom Sixth Players). Bagaimana bisa? Ternyata kemampuannya dalam passing (mengoper) tak diragukan oleh anggota Kiseki no Sedai, karena hawa keberadaannya yang lemah dan kemampuannya dalam mengalihkan pandangan lawan (misdirection). *seperti trik sulap gitu* [Well, au...