Langsung ke konten utama

CINTA YANG TERJAGA



Kecupan angin Shubuh menyadarkan pekat malam agar segera beranjak. Di ufuk timur, sang surya menyibak jendela langit dengan kemilaunya yang menghangatkan, siluet kuning temaram di antara biru dirudung kelabu. Detak kehidupan sebagai pembuka hari menghampiri, walau dibalur hawa kesejukan yang merambat dalam lengang suasana pagi. Dalam jarak kota Bertuah – kota Jam Gadang kupandangi sekali lagi wajahnya di balik kemudi. Sosok di sebelahku kini yang dulu menjadi alasan canda bersama salah satu sahabat masa kuliah.

“Kalila, Delfi lewat tadi. Meski dari jauh mata Ai sudah puas melihat dia, tetap saja ketika dekat pandang ini meredup ditelan malu. Aih, senangnya Ai!” lengkingnya menggebu disebelahku, masih dengan semangatnya mengalahkan sinar penguasa mega.
 “Istighfar Aisha!!” nasihatku. Tapi, yang diberi nasihat justru cengengesan sambil manggut-manggut.
“Sesekali, Ka! Namun, Ai penasaran jua, seperti apa kelak wanita yang akan mendampingi dia? Menurut Ai pasti beruntung sekali ukhti itu kan, Ka!” lirihnya pelan.

“Kenapa Dik? Kok senyum-senyum sendiri?” suara suamiku membuyarkan lamunan.
“Tidak ada, Mas. Pemandangan paginya bagus ya, meski sejuk.” jawabku sekenanya sembari mengelus kedua lengan dengan tanganku. Tidak mungkin kuceritakan bagaimana girls talk zaman kampus. Tiba-tiba, hp ku berdering. Sahabat kuliah lain, Vio, tertera namanya di monitor hp.
“Innalillahi Ka!” suaranya parau mendahului salam yang hendak kuucap. Terisak.
“Ada apa, Vio? Siapa?”
“Ai, Ka! Ai… Ai meninggal Shubuh tadi. Kecelakaan.” suara Selly tercekat.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.“ bulir sejuk membasahi pipiku itu meluncur, tubuhku lunglai. Hp yang kupegang terlepas dari genggaman.
“Kenapa, dik? Siapa yang meninggal?” Tanya suamiku. Belum sempat aku menjawab, hp suamiku pun berdering. Ternyata sahabatnya, Andi, turut mengabari berita serupa. Mobil melaju menuju rumah duka.
Tak kusangka, tiga tahun lalu justru menjadi pertemuan terakhir kali antara aku dan Aisha saat reuni jurusan.

“Ehm, Kalila udah ada yang mengkhitbah[1] belum? Ai yakin, pasti sudah, kan!” Aku bingung menjawabnya. Akhirnya aku mengangguk.
“Siapa? Bagiamana orangnya? Ai kenal tidak, Ka?” cercanya dengan berbagai tanya. Aku tersenyum simpul. Lidahku kelu hendak menyebutkan namanya. Bukan Aisha kalau tidak memaksa orang lain untuk bercerita.
“Delfi, Ai.” jawabku pelan, singkat. Diam. Aisha menunduk.
“Subhanallah! Kalila cocok kok sama Delfi. Lalu Ka sudah menjawab iya?”
“Maafin Kalila, Ai. Ka juga bingung. Ka tahu Ai sudah lama memendam rasa itu ke Delfi. Semua cerita Ai tentang Delfi yang membuat pilihan ini terasa begitu berat.”
“Kalila, Ai justru senang karena Kalila yang akhirnya dipilih Delfi. Bukankah Ka juga memendam rasa yang sama? Jangan fikirkan Ai, itu hanya rasa kagum Ai saja yang berlebihan. Kalila, jangan menolak jika telah datang kepadamu seorang laki-laki yang baik imannya. Siapa yang menjamin kalau setelah ia akan datang laki-laki lain yang lebih baik? Ai ikhlas kok, melepas Delfi kalau untuk Ka.” sumringahnya –dibalik luka.
“Ai juga sudah dikhitbah oleh seorang laki-laki.  Kalila ingat Andi?”
“Andi yang jadi idola teman-teman kita itu?” aku terperanjat. Ia mengangguk. Aku terpana. Karena sosok itu adalah orang yang paling Ai hindari, ‘Ai takut dikira suka sama dia juga, Ka!’ Alasan yang selalu diucapkannya bila ditanya mengapa ia kurang menyukai Andi. Namun, justru laki-laki itulah yang mendatanginya.
“Hm, lantas apa jawaban Ai?” Aku menahan tawa melihat anggukannya sekaligus mengingat bagaimana sikap Ai jika bertemu dengan pria yang satu itu.
*****
Tiga bulan kemudian,
            Aku tengah mengemas ruang kerja Delfi saat mataku terusik pada sebuah buku bersampul hitam di deretan buku lainnya dalam etalase rak buku. Pasalnya, setiap jilid lembaran itu pasti tertera judul di sampul bagian samping, tapi tidak dengan buku tersebut. Didorong rasa penasaran, kutarik buku itu. Sampulnya hitam. Polos. Kubuka halaman pertama, ada foto suamiku berseragam toga. Kubalik lembar berikutnya. Tertera tanggal di halaman atas, alkisah tiga tahun lalu. Diary. Ya, buku ini diary Delfi. Hatiku berkecamuk ingin membacanya, namun gema suara lain melarang. Bingung. Urung kulirik halaman yang telah kubuka. Aku membalik lembaran berikutnya tanpa kubaca, hanya tiga lembar yang berisi tulisan.Tergelitik. Mungkin bukan diary. Selanjutnya rangkaian kata menguraikan cerita.

17 Maret 2011
            Terlalu segar untuk kembali ke kisah lama, waktu pertama kali aku melihatmu, dinda. Sangat membekas bagaimana ketika kamu bermain dikelilingi belasan anak kecil di panti. Sementara aku terus melihatmu dari kejauhan. Aku terkejut mengetahui kita berada di fakultas yang sama. Terkadang aku tertawa geli, sebelum mengenal arti menjaga pandang. Kau tahu, aku acapkali memandangmu. Tapi kamu begitu fokus, untuk sekedar menyadari ada pengagummu selama ini.
Dara, di suatu malam aku berbisik dalam munajah panjangku, untuk mengakhiri permainan retorika hati yang mengaburkan fatwa hakiki, “Ya Allah, cinta ini kutitipkan pada-Mu hingga tiba waktuku untuk menjemputnya atas izin-Mu. Aku percaya tiada yang sia-sia, Engkau sebaik-baik Penjaga, maka biarkan pula cinta ini Engkau yang menjaga selagi aku mempersiapkan diri menjadi yang terbaik baginya.” Aku sadar, ada pandang yang harus diredupkan, sebab mata adalah jendela tempat syetan bertandang menawarkan muslihat untuk mengagumimu yang diselimuti keindahan.
            Dinda, siang itu sahabatku datang dengan ceria dan mengatakan akan berta’arufan[2] dengan seorang perempuan. Aku memeluknya bahagia, kagum pada keberaniannya, meski aku belum tahu siapa gadis itu. Selama aku bersahabat dengannya, tiada kusadari bahwa ternyata ia diam-diam memendam rasa pada seorang wanita. ‘Gadis ini begitu istimewa, Delfi. Sampai memberi senyum padanya pun aku tak sanggup. Doakan sahabatmu ini ya, Delfi.’ katanya penuh harap. Aku mengangguk. Lucu awalnya melihat sahabatku ini gelisah. Akhirnya, kuiringi dengan basmalah dan ia melangkah mantap untuk bertemu calon pendamping hidupnya. Sebelum bayangnya benar hilang, ia sempat membisikkan nama bidadarinya. Aku serasa limbung. Nama itu ialah nama cinta yang kutitipkan. Aku terlalu kerdil untuk bersaing dengan Andi –sahabatku-yang selama ini sering menjadi tempatku berkesah. Tapi mengapa gadis itu? Sesalkah aku karena tak bergegas menjempumut?
            Dinda, sampai kini pun aku percaya Dia-lah sebaik-baik penjaga. Cinta ini pun masih kutitipkan pada-Nya. Entah akan kujemput atau tetap kubiarkan Dia yang menjaga sedang aku mengukir cinta lainnya. Sekeping memoarku tentangmu, gadis periang yang senantiasa dibalut gamis merah muda, Salsabila Aisha.
---

            Aku terduduk, masih dengan buku bersampul hitam di tanganku. Air mata menggantung di dagu. Sedih. Perih. Haru. Bahagia. Sesal. Konsekuensi membaca kepingan kisahnya. Seiring bayang Aisha sekaligus memoar tentangnya hadir.
 “Rasa ini bagai menepuk angin, Ka. Karena menurut Ai, Delfi mungkin tidak mengenal Ai. Berbicara saja tidak pernah. Biarlah rasa ini Allah yang menjaga, kan, Kalila?” tutupnya lirih.
‘Cintanya padamu telah dititipkan pada Dia, sebagaimana engkau menyerahkan cintamu padanya agar dijaga oleh Sang Pemilik Cinta.’ desis suara dihatiku menggema. ‘Dugamu salah, ia melihatmu tepat seperti engkau melihatnya.’ Aku berharap Aisha di depanku dan aku memeluknya. Memuji tegarnya, sabarnya, dan ikhlasnya. Allah bersamamu, sahabatku sayang.

Nur Azlina Oktavianti –FLP Ranting UR



[1] mengkhitbah : melamar
[2] bertaaruf’an : berkenalan. Proses pertama sebelum mengkitbah seorang gadis. Biasanya pihak perempuan akan didampingi keluarganya apabila berkenalan dengan laki-laki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPDP ATAU CPNS?: Behind The True Story~

Tak terasa tiga tahun berlalu dengan cepat, ya. Iyap, tiga tahun lalu sejak aku terakhir menulis di sini. Melihat semuanya jadi tampak asing sekarang, sedikit berdebu karena lama tak terjamah. Kalau diingat-ingat, tulisan terakhir juga terjadi di bulan April, ya. April 2018 – April 2021. Time flies, people change, and memories happen. Jadi, barangkali tulisan perdanaku usai vakum, aku akan sedikit merenung dan menceritakan apa – apa saja yang terjadi selama tiga tahun belakangan secara bertahap. Refleksi, terapi dan kontemplasi. April 2018 kemarin, aku membahas tentang  Fresh Graduate: The Untold Dilemma . Saat tulisan itu rampung kutulis, aku benar – benar tak tahu kalau setelahnya adalah masa terberat melebihi peliknya memilih bekerja dengan gaji pas – pasan atau mencari beasiswa namun minim persiapan.😔😔😔 Peliknya kehidupan menanti di depan mata, indah dan nikmat kata mereka namun hancur lebur bagi aku yang menjalaninya. 💦 Juli 2018 Masih di tengah euphoria pernikahan seoran...

Cause Happiness is Simple

              Hidup adalah tentang pencarian tak berkesudahan. Pencarian akan jati diri, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Tentang bahagia, sungguh itu adalah perkara sederhana. Sebab, indikator bahagia tak teregistrasi dalam Satuan Internasional, jadi cukuplah perspektifmu yang menentukan. Ini definisi bahagiaku -(tertanggal 22-24 Mei 2015) Bahagiaku sederhana, sesederhana mendapat keluarga baru dari belahan bumi Nusantara, sesederhana melihat senyum dan mendengar opini mereka tentang tanah kuhuni, sesederhana menekuri detik yang melintas dengan cerita tak berutas, sesederhana hikmah bahwa belajar akan negeriku sejatinya tak berkesudah, sesederhana disadarkan bahwa semangat dan pantang menyerah   adalah konsekuensi realisasi atas impian yang tersimpan, but at last but not least, sesederhana kian merebaknya kagum an syukurkuku pada sang Rahiim atas kasih sayangNya tuk mengizinkan helaan nafasku merasa...

Kuroko Basketball : Friendship not just Term that We Ever Heard

  Gambar: Cover film Kuroko Basketball Film yang diadaptasi dari manga Kuroko no Basket (Basketball Which Kuroko Plays) ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang atlit basket bernama Tetsuya Kuroko.   Walau tak memiliki keahlian dalam dribbling, apalagi shooting (menembak), cowok berambut biru ini justru menjadi tim utama basket SMP Teikou yang memiliki lima anggota Kiseki no Sedai (Generasi Keajaiban), yakni Akashi Seijuroo, Aomine Daiki, Murasakibara Atsushi, Kise Ryota, dan Midorima Shintaro. Dan mampu membuat sekolah tersebut sebagai jawara di Kejuaraan Nasional Basket tiga kali berturut-turut. Tetsuya sendiri memiliki gelar anggota keenam Kiseki no Sedai, pemain Bayangan (the Phantom Sixth Players). Bagaimana bisa? Ternyata kemampuannya dalam passing (mengoper) tak diragukan oleh anggota Kiseki no Sedai, karena hawa keberadaannya yang lemah dan kemampuannya dalam mengalihkan pandangan lawan (misdirection). *seperti trik sulap gitu* [Well, au...