Langsung ke konten utama

KKN Kebangsaan Story (Part 1)


Rampung dua bulan kujalani waktu tanpa keriuhan ala posko Kuliah Kerja Nyata Kebangsaan Dusun I Kampung Tanjung Kuras. Ya, mereka yang awalnya tak pernah terbayangkan, justru sekarang adalah orang yang berlalu-lesap di pikiran. Kukira aku hanya akan menjalani KKN seperti yang lainnya, bekerjasama dan tinggal serumah dengan mahasiswa berbagai fakultas di Universitas Riau. Ya, seperti kelompok yang kudapat sebelumnya, kelompok KKN Desa Rambah Tengah Utara, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu yang tak lain adalah daerah yang acapkali kusambangi saat liburan. Meskipun desaku tak terletak persis di tempat itu, sedikit banyaknya karena jarak yang tak terlalu jauh dari rumah membuatku memilih KKN di sana. Lalu, tawaran KKN Kebangsaan pun tiba. Entah kenapa aku merasa tertantang untuk bergabung dengan program itu, selain karena waktu pengabdian yang lebih singkat –satu bulan-, bertemu dengan orang baru dari belahan daerah Nusantara juga menjadi alasanku untuk mencoba mengikutinya. Berbekal paper berjudul “Penanaman Geronggang (Cratoxylum arborescens) sebagai Upaya Revegetasi pada Lahan Gambut Terdegradasi di Riau” aku dinyatakan lolos dan menjadi salah satu peserta dari almamater Biru Langit. Sedih pun menghampiri, bagaimana juga aku telah sempat bertukar cerita dengan kelompok KKN Reguler sebelumnya. Calon keluargaku itu mengucapkan selamat dan aku mengucapkan kata perpisahan pada mereka, ketigabelas temanku, Kelompok KKN RTU.
Hal yang membuatku gusar adalah saat satu persatu sahabatku mulai bercerita tentang first meet-up bersama calon keluarganya dan membahas program kerja mereka, sedang aku hanya takzim sebagai pendengar.
“Az sudah tahu siapa teman-temannya?” tanya mereka. Aku menggeleng sembari otakku berputar: seperti apa keluargaku nantinya?
***
Tak terasa pertengahan Ramadhan telah menyapa. Aku menikmati liburanku bermanja bersama mama saat kedua adikku sibuk dengan sekolahnya. Aku melihat profil BBM kawanku dengan Display Picture nama calon keluarganya di KKN Kebangsaan. Setelah mendapat link download Buku Panduan KKN-K Part 2, aku langsung menyusuri icon Find di screen handphone. That’s it! Kelompok 41. Namaku disana. UI, IPB, Unnes, UIN Suska, UR, Unja, Untirta dan Umrah. Delapan universitas, sebelas orang di kelompok 41. Aku memposting di Grup KKN Kebangsaan 2015 untuk mencari kesepuluh temanku itu. 
Gambar: Teman KKN Kebangsaan
 
Pertukaran info selanjutnya terjadi di grup Line, meskipun hanya delapan orang yang bergabung, setidaknya aku bersyukur, teman-temanku tidak kalah seru dengan kelompok sebelumnya. Khawatirku mulai lagi: akankah pertemuan sekompak chatting via Line? Adakah kesenjangan yang akan ditimbulkan? Mampukah aku beradaptasi? Ah, entahlah.
 
Gambar: Logo KKN Kebangsaan Dusun 1 Tanjung Kuras

Senin, 27 Juli 2015
            “Alhamdulillah teman-teman, Armada Unja telah tiba di Pekanbaru.” pesan Adit di grup Line membuat jantungku kembali berdegup. Akhirnya sosok akan berganti rupa nyata. Seperti apa mereka?
            “Lu dimana, Dit?” tanya Guntur, dari UI. Ya, dua orang keluargaku telah tiba dikota Bertuah. Aku, Faiz, Nabela, dan Chacha mengucapkan selamat datang pada mereka yang telah menginjakkan kaki di kota kami.Tak mau kalah, Muhayah, Nurul dan Ikhlas, dari bandara Soetta dan Hang Nadim, turut meminta doa agar dilancarkan perjalanannya ke bumi Lancang Kuning ini.
“Inikah alasan kenapa kalian ingin Az segera bertemu keluarga KKN, Gees? Penantian ini seru ternyata.” Aku mulai pamer pada keenam sahabatku di grup BBM.
Sayangnya, kami tak sempat saling berjumpa. Bus yang membawa kami menuju Batalyon Arhanudse Wirabima 132 di Salo, Bangkinang, berbeda. Setibanya di markas tentara, kami langsung dibariskan. Kompi Tirta Pleton III B. Mencari barisan di hamparan lebih kurang lima ratus orang bukan perkara mudah kawan. Akhirnya kutemukan barisan itu. Aku langsung mengenali Rifka, Nabela, dan Faiz –karena memang sebelumnya kami telah bertatap muka. Aku sempat melihat Adit dengan almamater orange-nya. Kemudian Nurul, yang ternyata berada di sebelah Rifka. Lalu akhirnya Guntur, di barisan depan karena tubuhnya yang menjulang dengan alma kuningnya.
            Gladi resik Upacara Pembukaan yang baru berakhir pukul 17.00 membuat kami benar-benar kelelahan. Dengan menggiring koper jumbo kami terseok menuju barak Kiban C dan segera bersiap untuk acara penyambutan malam harinya. Ah ya, dua teman kami –Muhayah dan Ikhlas- masih ‘tersangkut’ di LPPM UR karena penjemputan dari beberapa universitas lain di bandara. Sedang Syarif, mahasiswa UIN Suska, mulai kuketahui sifatnya: suka menghilang. Sementara seorang lagi masih belum teridentifikasi.
***
Selasa, 28 Juli 2015
            Pernahkah kamu saking khawatirnya tak dapat mandi dikarenakan antrian delapan puluh orang untuk lima kamar mandi dalam waktu dua jam, membuatmu mandi tengah malam? Aku pernah. Dan di Batalyon ini pertama kalinya kulakukan. Meski telah dilarang danti untuk keluar barak di atas jam 23.00, rasa gerah ini membuat kami berempat nekat. Pukul 00.00, saat mata tak mampu terpejam dan teman lain mulai menikmati mimpinya, aku, Nurul dan Chacha beraksi mengeluarkan peralatan mandi setelah melihat wajah ceria Nabela yang lega usai keramas. Usaha kami tak sia-sia, kamar mandi kosong! Ah, bahagia itu ternyata sederhana kawan. Cukup mandi serasa dikamar mandi kost sendiri, tanpa perlu mengantri, dan diteriaki. Selanjutnya, huru hara barak jam tiga pagi dikarenakn teman kami mengantri kamar mandi menjadi nina bobo pengantar ke alam bawah sadar semakin dalam.
            Namun hal itu tak berlangsung lama, ketika jam menunjukkan pukul 04.30, aku mulai bersiap-siap untuk melaksanakan apel pagi. Ini juga pertama kalinya berbaris saat hari gelap, pencarian barisan pun menjadi lebih sulit karena kami tak dapat melihat wajah kawan yang berada di satu kompi. Usai apel pagi, agenda dilanjutkan dengan sarapan. Di barak ini, semua kegiatan berbasis militer yang terkenal dengan kedisiplinannya. Mulai dari sholat, mandi, wudhu, bahkan sampai makan pun: mengantri! Alat makan yang digunakan pun unik, yaitu ompreng! Berasa jadi siswa SMA Korea kalo makan dengan benda yang satu ini. Nah,ini dia tata cara makan selama di barak.
Gambar: Antrian ketika akan makan

“Siap gerak! Berdoa mulai!” *hening* “Berdoa selesai! Istirahat di tempat, gerak!” lalu dengan serempak kami menjawab, “Selamat makan!” Suapan pertama dimulai dengan teriakan danton,
“Untuk barisan ini, sepuluh menit dari sekarang!” dan kami mulai menyuap sendok ke mulut.
“Perhatikan, bukan sendok mencari mulut. Mulut yang mencari sendok! Cepat! Cepat! Dorong pakai air! Telan! Tak usah dikunyah! Dorong pakai air!” Busettt, mau tersedak pun tak sempat kawan! *padahal kalo lagi nongkrong dengan teman, makan bisa sampai sejam* Begitu aba-aba “Siap gerak. Berdoa mulai!” *hening lagi* “Selesai!” Lantas kami akan menjawab, “Terima kasih” lalu beranjak dan berjalan menuju barisan lima dandang besar –tempat sampah, air hangat, air sabun, air bilasan, dan air bersih- lalu menumpuk ompreng. 

Gambar: Usai makan dan bersiap untuk berbaris


         Lalu berbaris lagi! (Lagi!) Ya, berbaris menuju lapangan dengan bernyanyi lagu kebangsaan yang masih kami ingat. Yah, lagu wajib yang dilantunkan yaitu: hari Kemerdekaan, Dari Sabang sampai Merauke, Pancasila dan Halo Halo Bandung. Gitu aja terus sampai diam karena kehabisan lagu.
Gambar: Menuju Lapangan jelang Pembekalan

            Di sela-sela Gladi Resik yang tak kunjung resik, pagi itu:
“Eh, yang namanya Muhayah itu yang mana, ya?” tanya Rifka padaku dan Nurul yang berada pada banjar yang sama.
“Entahlah. Seharusnya dia udah sampai malam tadi.” jawabku. Tiba-tiba cewek beralmamater -cokelat enggak, merah marun juga enggak- yang berada di depan Nurul bertanya, “Kamu Nurul, ya?”
“Iya.”
“Aku Muhayah dari Untirta.” Oalah!
Dan, di saat istirahat gladi resik menuju upacara sesungguhnya:
“Eh, Rifka, Nurul, Udah tahu belum, si Arif Rahman diganti dengan si Majid, sama-sama dari Unnes juga, sih.” kataku memulai pembicaraan. Lalu, mahasiswa beralmamater kuning di depanku bertanya pada kami bertiga.
“Kalian KKN di Tanjung Kuras, ya?” Kami mengangguk. “Sama. Saya juga. Saya Nur Kholis Majid dari Unnes.” katanya menyodorkan tangan. Ya, ini mungkin yang disebut kalo jodoh gak kemana. Di depan kita rupanya ni, keluarga satu :D
Nah, lengkap? Belum. Jujur, aku penasaran dan sangat penasaran dengan anak dari Umrah, M. Ikhlas. Manusia alay dengan sticker aneh versi Line dan orang yang paling ribut di grup. Seperti apa dia?
“Muha’ udah ketemu Ikhlas kan? Yang mana dia? Az penasaran!” tanyaku.
“Itu Az. Di depan Nabela, yang tinggi.” Aku melihat arah tangan Muhaya. Tampak sosok cowok jangkung dan putih, di sebelah Guntur. “Oh, itu.” gumamku.
“Berhubung upacara belum mulai, ngumpul yuk.” ajak Faiz. “Ikhlas! Ikhlas!” Faiz dan Guntur memanggil sosok itu. Tapi, kok, yang berjalan bukan orang yang ditunjuk Muha’.
“Dia Ikhlas?” bisikku pada Muhayah. “Iya!” Sosok gendut, hitam, tinggi berjalan ke arah kami. ‘Azaab. Ada bapak-bapak disini. Dewasa bingo pastinya ini.’ Opiniku pertama kali. Tapi kurang dari dua puluh menit, anggapanku itu menjadi negasi. Jaim ketika first meet-up? Duh, kelompokku gak mengenal begituan. Cerita mengalir begitu saja, ngeledek, menjadi bahan ejekan sebagai candaan, dan tertawa bersama. Namun semua itu berubah saat Dan-yon memerintahkan para Dan-ki dan Dan-ton untuk menyiapkan barisan. 
Gambar: Kelompok KKN Kebangsaan Dusun 1 Tanjung Kuras 

Rabu, 29 Juli 2015
Today is outbond day! Yeayy! Yaps, outbond di markas militer berbeda jauh dengan outbond yang pernah kuikuti dimanapun. 

Gambar: Persiapan jelang Outbond

Jika biasanya outbond mengajakan tentang kekompakan ataupun team building, outbond disini mengajarkan tentang pertahanan dan kesiapan disaat genting. Ada outbond melembar berbagai jenis pisau *dan ga ada satupun yang mengenai sasaran*, merayap di atas satu tali *meski takut ketinggian, I can passed it!*, dan flying fox *ah, sayang jatahnya cuma sekali. Akunya nagih main yang satu ini. Mumpung gratis :D*
Namun, di sela-sela outbond juga, kami berhasil memilih Koordinator Desa. Kala itu menjelang permainan Merayap di Atas Satu Tali setelah Lempar-lemparan pisau. Tak lupa bagaimana saat Adit dengan topi di tangan mengatakan, “Siapakah kordes yang terpilih?” sembari hilir mudik di antara Faiz, Guntur, Syarif dan Ikhlas *ala eliminasi kontes nyanyi di tipi* Dan, topi diletakkan di kepala Faiz yang kebingungan dengan penobatan itu.
            Malam harinya, acara dilanjutkan dengan api unggun. Dimulai dari pembacaan puisi yang membuat ngantuk, menyanyikan lagu mars dan hymne KKN Kebangsaan yang masih belum rampung dihafal, sampai Ibu Morina *lebih akrab dipanggil Ibu Morena* menyanyikan lagu Gemifamire. Awalnya biasa aja. Tapi barisan makin rapat ke tengah, rapat dan semakin rapat, sampai entah keberapa kali lagu itu dinyakikan, tahu-tahu kami para peserta KKN Kebangsaan sudah membuat lingkaran berlapis bergandengan tangan mengelilingi api unggun, berlari *lebih tepatnya berloncatan* mengikuti suara beliau.
Putar ke kiri, hey…. Nona manis putarlah ke kiri,
Ke kiri, ke kiri, ke kiri, dan ke kiri *ntah berapa kali*
Ke kiri manise.
Putar ke kanan, hey… Nona manis putarlah ke kanan,
Ke kanan, ke kanan, dan ke kanan *ntah berapa kali lagi*
Ke kanan manise..

Dan, begitu seterusnya sampai si Ibu selesai bernyanyi dengan mengulang bagian reffrain berkali-kali *sampai bosan*.
***
Kamis, 30 Juli 2015
            Usai upacara pelepasan dan meletakkan barang-barang di bus yang berjejer tak terkira panjangnya, kami menyadari satu hal. Ya, kami akan merindukan deretan bangunan bercat hijau tua tempat kami berjumpa pertama kali. Mungkin kami tak akan bisa kembali ke tempat ini, bertemu tempat tidur beralas tandu, makan dengan ompreng, mandi- wudhu- sholat- BAB, dan semua kegiatan lain yang serba berbaris- mengantri, mendengar teriakan dan-ki, dan-ton, dan dan-yon menyiapkan barisan, berteriak-teriak menyanyikan lagu kebangsaan  yang tak sama liriknya antara baris depan-belakang karena terlalu panjang, keributan mencari barisan saat gelap: pagi sebelum terbit mentari dan tengah malam, terkantuk-kantuk mendengar narasumber menyampaikan materi saat Pembekalan, ah, semuanya. Ya, kami akan rindu itu. 
Gambar: Jelang keberangkatan

            Aku dan kesepuluh temanku memasuki BUS 8 –Dra. Riswani, M,Pd- yang akan membawa kami ke desa pengabdian: Dusun 1 Kampung Tanjung Kuras, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. Dan dari sinilah, awal kisah kami sebenarnya akan bermula…
***
Behind the scene Pembekalan KKN Kebangsaan 2015 *just for Kompi Tirta*
Interview Moment
Narasumber   : Parno.
Pewawancara            : Danton, Danki, dan Danyon.

Bagaimana kesan kamu selama mengikuti pelatihan di batalyon?
Seru, Ndan! Banyak hal yang baru pertama kali kami alami, Ndan!

Sebutkan secara terperinci! Yang paling berkesan menurut kamu?
Ini, Ndan. Kalau komandan mau dengar keributan pagi hari, datang aja ke barak cowok, Ndan. Ntar denger bunyi, “kreeeek.. kreeeek….” Bukan bunyi gayung beradu dengan air tapi gayung beradu dengan dinding bak, Ndan. Padahal dah jelas airnya habis, tetap aja diciduk, Ndan. “kreeek… kreeeek….”Tanyalah ke mereka, Ndan, siapa yang mandi pagi ini?
Sontak kami semua tertawa. Termasuk para komandan.

Yaya… ada-ada saja kamu ini. Kalau makan, gimana?
Wah, seru, Ndan. Pakai ompreng. Tapi, ya, itu, Ndan. Gak boleh nambah. Ambil timun lebih dari biji aja udah dimarahin, Ndan. Sampai tempe, tahu, pun semua dijatah.

Jelas, dong. Ingat kawan lain. Kalau tidur gimana?
Kalau di barak satu lagi, enak Ndan. Dapat kasur. Nah, kami yang di aula. Beuh, beralas lantai, Ndan. Datang aja komandan ke barak kami, udah kayak counter, Ndan. Cok sambung ntah kemana-mana. Hp berserak, Ndan! Kalo tidurnya ya, itu, Ndan. Kalo normalnya kepala ketemu kepala-kaki ketemu kaki, kami nggak Ndan, kepala ketemu kaki, kaki ketemu kepala. Penting bisa tidur aja, jadilah, Ndan.
Kali ini, anak cowok dengan barak yang dimaksud ketawa terpingkal-pingkal.

Meskipun begitu, itu yang sekarang kami rindu, kawan. :D
Thanks a lot for memorable three days Batalyon Infanteri Arhanudse 132 Wirabima at Salo, Bangkinang, Kampar Regency, Riau Province.

Pekanbaru, 13 September 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPDP ATAU CPNS?: Behind The True Story~

Tak terasa tiga tahun berlalu dengan cepat, ya. Iyap, tiga tahun lalu sejak aku terakhir menulis di sini. Melihat semuanya jadi tampak asing sekarang, sedikit berdebu karena lama tak terjamah. Kalau diingat-ingat, tulisan terakhir juga terjadi di bulan April, ya. April 2018 – April 2021. Time flies, people change, and memories happen. Jadi, barangkali tulisan perdanaku usai vakum, aku akan sedikit merenung dan menceritakan apa – apa saja yang terjadi selama tiga tahun belakangan secara bertahap. Refleksi, terapi dan kontemplasi. April 2018 kemarin, aku membahas tentang  Fresh Graduate: The Untold Dilemma . Saat tulisan itu rampung kutulis, aku benar – benar tak tahu kalau setelahnya adalah masa terberat melebihi peliknya memilih bekerja dengan gaji pas – pasan atau mencari beasiswa namun minim persiapan.😔😔😔 Peliknya kehidupan menanti di depan mata, indah dan nikmat kata mereka namun hancur lebur bagi aku yang menjalaninya. 💦 Juli 2018 Masih di tengah euphoria pernikahan seoran...

Cause Happiness is Simple

              Hidup adalah tentang pencarian tak berkesudahan. Pencarian akan jati diri, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Tentang bahagia, sungguh itu adalah perkara sederhana. Sebab, indikator bahagia tak teregistrasi dalam Satuan Internasional, jadi cukuplah perspektifmu yang menentukan. Ini definisi bahagiaku -(tertanggal 22-24 Mei 2015) Bahagiaku sederhana, sesederhana mendapat keluarga baru dari belahan bumi Nusantara, sesederhana melihat senyum dan mendengar opini mereka tentang tanah kuhuni, sesederhana menekuri detik yang melintas dengan cerita tak berutas, sesederhana hikmah bahwa belajar akan negeriku sejatinya tak berkesudah, sesederhana disadarkan bahwa semangat dan pantang menyerah   adalah konsekuensi realisasi atas impian yang tersimpan, but at last but not least, sesederhana kian merebaknya kagum an syukurkuku pada sang Rahiim atas kasih sayangNya tuk mengizinkan helaan nafasku merasa...

Kuroko Basketball : Friendship not just Term that We Ever Heard

  Gambar: Cover film Kuroko Basketball Film yang diadaptasi dari manga Kuroko no Basket (Basketball Which Kuroko Plays) ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang atlit basket bernama Tetsuya Kuroko.   Walau tak memiliki keahlian dalam dribbling, apalagi shooting (menembak), cowok berambut biru ini justru menjadi tim utama basket SMP Teikou yang memiliki lima anggota Kiseki no Sedai (Generasi Keajaiban), yakni Akashi Seijuroo, Aomine Daiki, Murasakibara Atsushi, Kise Ryota, dan Midorima Shintaro. Dan mampu membuat sekolah tersebut sebagai jawara di Kejuaraan Nasional Basket tiga kali berturut-turut. Tetsuya sendiri memiliki gelar anggota keenam Kiseki no Sedai, pemain Bayangan (the Phantom Sixth Players). Bagaimana bisa? Ternyata kemampuannya dalam passing (mengoper) tak diragukan oleh anggota Kiseki no Sedai, karena hawa keberadaannya yang lemah dan kemampuannya dalam mengalihkan pandangan lawan (misdirection). *seperti trik sulap gitu* [Well, au...