Rampung dua bulan kujalani waktu tanpa
keriuhan ala posko Kuliah Kerja Nyata Kebangsaan Dusun I Kampung Tanjung Kuras.
Ya, mereka yang awalnya tak pernah terbayangkan, justru sekarang adalah
orang yang berlalu-lesap di pikiran. Kukira aku hanya akan menjalani KKN
seperti yang lainnya, bekerjasama dan tinggal serumah dengan mahasiswa berbagai
fakultas di Universitas Riau. Ya, seperti kelompok yang kudapat sebelumnya,
kelompok KKN Desa Rambah Tengah Utara, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu
yang tak lain adalah daerah yang acapkali kusambangi saat liburan. Meskipun
desaku tak terletak persis di tempat itu, sedikit banyaknya karena jarak yang
tak terlalu jauh dari rumah membuatku memilih KKN di sana. Lalu, tawaran KKN Kebangsaan
pun tiba. Entah kenapa aku merasa tertantang untuk bergabung dengan program
itu, selain karena waktu pengabdian yang lebih singkat –satu bulan-, bertemu
dengan orang baru dari belahan daerah Nusantara juga menjadi alasanku untuk
mencoba mengikutinya. Berbekal paper berjudul “Penanaman Geronggang (Cratoxylum arborescens) sebagai Upaya
Revegetasi pada Lahan Gambut Terdegradasi di Riau” aku
dinyatakan lolos dan menjadi salah satu peserta dari almamater Biru Langit.
Sedih pun menghampiri, bagaimana juga aku telah sempat bertukar cerita dengan
kelompok KKN Reguler sebelumnya. Calon keluargaku itu mengucapkan selamat dan
aku mengucapkan kata perpisahan pada mereka, ketigabelas temanku, Kelompok KKN
RTU.
Hal yang membuatku gusar adalah saat satu persatu sahabatku mulai
bercerita tentang first meet-up bersama
calon keluarganya dan membahas program kerja mereka, sedang aku hanya takzim
sebagai pendengar.
“Az sudah tahu siapa teman-temannya?” tanya mereka. Aku menggeleng
sembari otakku berputar: seperti apa keluargaku nantinya?
***
Tak terasa pertengahan Ramadhan telah menyapa. Aku menikmati liburanku
bermanja bersama mama saat kedua adikku sibuk dengan sekolahnya. Aku melihat
profil BBM kawanku dengan Display Picture nama calon keluarganya di KKN
Kebangsaan. Setelah mendapat link
download Buku Panduan KKN-K Part 2, aku langsung menyusuri icon Find di screen handphone. That’s it!
Kelompok 41. Namaku disana. UI, IPB, Unnes, UIN Suska, UR, Unja, Untirta dan Umrah.
Delapan universitas, sebelas orang di kelompok 41. Aku memposting di Grup KKN
Kebangsaan 2015 untuk mencari kesepuluh temanku itu.
Gambar: Teman KKN Kebangsaan
Pertukaran info selanjutnya terjadi di grup Line, meskipun hanya delapan
orang yang bergabung, setidaknya aku bersyukur, teman-temanku tidak kalah seru
dengan kelompok sebelumnya. Khawatirku mulai lagi: akankah pertemuan sekompak
chatting via Line? Adakah kesenjangan yang akan ditimbulkan? Mampukah aku
beradaptasi? Ah, entahlah.
Gambar: Logo KKN Kebangsaan Dusun 1 Tanjung Kuras
Senin, 27 Juli 2015
“Alhamdulillah teman-teman, Armada
Unja telah tiba di Pekanbaru.” pesan Adit di grup Line membuat jantungku
kembali berdegup. Akhirnya sosok akan berganti rupa nyata. Seperti apa mereka?
“Lu dimana, Dit?” tanya Guntur, dari
UI. Ya, dua orang keluargaku telah tiba dikota Bertuah. Aku, Faiz, Nabela, dan
Chacha mengucapkan selamat datang pada mereka yang telah menginjakkan kaki di
kota kami.Tak mau kalah, Muhayah, Nurul dan Ikhlas, dari bandara Soetta dan
Hang Nadim, turut meminta doa agar dilancarkan perjalanannya ke bumi Lancang
Kuning ini.
“Inikah alasan kenapa kalian ingin Az segera bertemu keluarga KKN, Gees?
Penantian ini seru ternyata.” Aku mulai pamer pada keenam sahabatku di grup BBM.
Sayangnya,
kami tak sempat saling berjumpa. Bus yang membawa kami menuju Batalyon Arhanudse
Wirabima 132 di Salo, Bangkinang, berbeda. Setibanya di markas tentara, kami
langsung dibariskan. Kompi Tirta Pleton III B. Mencari barisan di hamparan
lebih kurang lima ratus orang bukan perkara mudah kawan. Akhirnya kutemukan
barisan itu. Aku langsung mengenali Rifka, Nabela, dan Faiz –karena memang
sebelumnya kami telah bertatap muka. Aku sempat melihat Adit dengan almamater
orange-nya. Kemudian Nurul, yang ternyata berada di sebelah Rifka. Lalu
akhirnya Guntur, di barisan depan karena tubuhnya yang menjulang dengan alma
kuningnya.
Gladi resik Upacara Pembukaan yang
baru berakhir pukul 17.00 membuat kami benar-benar kelelahan. Dengan menggiring
koper jumbo kami terseok menuju barak Kiban C dan segera bersiap untuk acara
penyambutan malam harinya. Ah ya, dua teman kami –Muhayah dan Ikhlas- masih ‘tersangkut’
di LPPM UR karena penjemputan dari beberapa universitas lain di bandara. Sedang
Syarif, mahasiswa UIN Suska, mulai kuketahui sifatnya: suka menghilang.
Sementara seorang lagi masih belum teridentifikasi.
***
Selasa, 28 Juli 2015
Pernahkah kamu saking khawatirnya
tak dapat mandi dikarenakan antrian delapan puluh orang untuk lima kamar mandi
dalam waktu dua jam, membuatmu mandi tengah malam? Aku pernah. Dan di Batalyon
ini pertama kalinya kulakukan. Meski telah dilarang danti untuk keluar barak di
atas jam 23.00, rasa gerah ini membuat kami berempat nekat. Pukul 00.00, saat
mata tak mampu terpejam dan teman lain mulai menikmati mimpinya, aku, Nurul dan
Chacha beraksi mengeluarkan peralatan mandi setelah melihat wajah ceria Nabela
yang lega usai keramas. Usaha kami tak sia-sia, kamar mandi kosong! Ah, bahagia
itu ternyata sederhana kawan. Cukup mandi serasa dikamar mandi kost sendiri,
tanpa perlu mengantri, dan diteriaki. Selanjutnya, huru hara barak jam tiga
pagi dikarenakn teman kami mengantri kamar mandi menjadi nina bobo pengantar ke
alam bawah sadar semakin dalam.
Namun hal itu tak berlangsung lama,
ketika jam menunjukkan pukul 04.30, aku mulai bersiap-siap untuk melaksanakan
apel pagi. Ini juga pertama kalinya berbaris saat hari gelap, pencarian barisan
pun menjadi lebih sulit karena kami tak dapat melihat wajah kawan yang berada
di satu kompi. Usai apel pagi, agenda dilanjutkan dengan sarapan. Di barak ini,
semua kegiatan berbasis militer yang terkenal dengan kedisiplinannya. Mulai
dari sholat, mandi, wudhu, bahkan sampai makan pun: mengantri! Alat makan yang
digunakan pun unik, yaitu ompreng! Berasa jadi siswa SMA Korea kalo makan
dengan benda yang satu ini. Nah,ini dia tata cara makan selama di barak.
Gambar: Antrian ketika akan makan
“Siap gerak! Berdoa mulai!” *hening* “Berdoa selesai! Istirahat di
tempat, gerak!” lalu dengan serempak kami menjawab, “Selamat makan!” Suapan
pertama dimulai dengan teriakan danton,
“Untuk
barisan ini, sepuluh menit dari sekarang!” dan kami mulai menyuap sendok ke
mulut.
“Perhatikan,
bukan sendok mencari mulut. Mulut yang mencari sendok! Cepat! Cepat! Dorong
pakai air! Telan! Tak usah dikunyah! Dorong pakai air!” Busettt, mau tersedak
pun tak sempat kawan! *padahal kalo lagi nongkrong dengan teman, makan bisa
sampai sejam* Begitu aba-aba “Siap gerak. Berdoa mulai!” *hening lagi*
“Selesai!” Lantas kami akan menjawab, “Terima kasih” lalu beranjak dan berjalan
menuju barisan lima dandang besar –tempat sampah, air hangat, air sabun, air
bilasan, dan air bersih- lalu menumpuk ompreng.
Gambar: Usai makan dan bersiap untuk berbaris
Lalu berbaris lagi! (Lagi!) Ya,
berbaris menuju lapangan dengan bernyanyi lagu kebangsaan yang masih kami
ingat. Yah, lagu wajib yang dilantunkan yaitu: hari Kemerdekaan, Dari Sabang
sampai Merauke, Pancasila dan Halo Halo Bandung. Gitu aja terus sampai diam
karena kehabisan lagu.
Gambar: Menuju Lapangan jelang Pembekalan
Di sela-sela Gladi Resik yang tak
kunjung resik, pagi itu:
“Eh,
yang namanya Muhayah itu yang mana, ya?” tanya Rifka padaku dan Nurul yang
berada pada banjar yang sama.
“Entahlah.
Seharusnya dia udah sampai malam tadi.” jawabku. Tiba-tiba cewek beralmamater -cokelat
enggak, merah marun juga enggak- yang berada di depan Nurul bertanya, “Kamu
Nurul, ya?”
“Iya.”
“Aku
Muhayah dari Untirta.” Oalah!
Dan,
di saat istirahat gladi resik menuju upacara sesungguhnya:
“Eh,
Rifka, Nurul, Udah tahu belum, si Arif Rahman diganti dengan si Majid,
sama-sama dari Unnes juga, sih.” kataku memulai pembicaraan. Lalu, mahasiswa
beralmamater kuning di depanku bertanya pada kami bertiga.
“Kalian
KKN di Tanjung Kuras, ya?” Kami mengangguk. “Sama. Saya juga. Saya Nur Kholis
Majid dari Unnes.” katanya menyodorkan tangan. Ya, ini mungkin yang disebut
kalo jodoh gak kemana. Di depan kita rupanya ni, keluarga satu :D
Nah,
lengkap? Belum. Jujur, aku penasaran dan sangat penasaran dengan anak dari
Umrah, M. Ikhlas. Manusia alay dengan sticker aneh versi Line dan orang yang
paling ribut di grup. Seperti apa dia?
“Muha’
udah ketemu Ikhlas kan? Yang mana dia? Az penasaran!” tanyaku.
“Itu
Az. Di depan Nabela, yang tinggi.” Aku melihat arah tangan Muhaya. Tampak sosok
cowok jangkung dan putih, di sebelah Guntur. “Oh, itu.” gumamku.
“Berhubung
upacara belum mulai, ngumpul yuk.” ajak Faiz. “Ikhlas! Ikhlas!” Faiz dan Guntur
memanggil sosok itu. Tapi, kok, yang berjalan bukan orang yang ditunjuk Muha’.
“Dia
Ikhlas?” bisikku pada Muhayah. “Iya!” Sosok gendut, hitam, tinggi berjalan ke
arah kami. ‘Azaab. Ada bapak-bapak
disini. Dewasa bingo pastinya ini.’ Opiniku pertama kali. Tapi kurang dari
dua puluh menit, anggapanku itu menjadi negasi. Jaim ketika first meet-up? Duh, kelompokku gak
mengenal begituan. Cerita mengalir begitu saja, ngeledek, menjadi bahan ejekan
sebagai candaan, dan tertawa bersama. Namun semua itu berubah saat Dan-yon
memerintahkan para Dan-ki dan Dan-ton untuk menyiapkan barisan.
Gambar: Kelompok KKN Kebangsaan Dusun 1 Tanjung Kuras
Rabu, 29 Juli 2015
Today is outbond day!
Yeayy! Yaps, outbond di markas militer berbeda jauh dengan outbond yang pernah
kuikuti dimanapun.
Gambar: Persiapan jelang Outbond
Jika biasanya outbond mengajakan tentang kekompakan ataupun
team building, outbond disini mengajarkan tentang pertahanan dan kesiapan
disaat genting. Ada outbond melembar berbagai jenis pisau *dan ga ada satupun
yang mengenai sasaran*, merayap di atas satu tali *meski takut ketinggian, I can passed it!*, dan flying fox *ah,
sayang jatahnya cuma sekali. Akunya nagih main yang satu ini. Mumpung gratis
:D*
Namun, di sela-sela outbond juga, kami berhasil memilih Koordinator
Desa. Kala itu menjelang permainan Merayap di Atas Satu Tali setelah
Lempar-lemparan pisau. Tak lupa bagaimana saat Adit dengan topi di tangan
mengatakan, “Siapakah kordes yang terpilih?” sembari hilir mudik di antara
Faiz, Guntur, Syarif dan Ikhlas *ala eliminasi kontes nyanyi di tipi* Dan, topi
diletakkan di kepala Faiz yang kebingungan dengan penobatan itu.
Malam harinya, acara dilanjutkan
dengan api unggun. Dimulai dari pembacaan puisi yang membuat ngantuk,
menyanyikan lagu mars dan hymne KKN Kebangsaan yang masih belum rampung
dihafal, sampai Ibu Morina *lebih akrab dipanggil Ibu Morena* menyanyikan lagu
Gemifamire. Awalnya biasa aja. Tapi barisan makin rapat ke tengah, rapat dan
semakin rapat, sampai entah keberapa kali lagu itu dinyakikan, tahu-tahu kami
para peserta KKN Kebangsaan sudah membuat lingkaran berlapis bergandengan
tangan mengelilingi api unggun, berlari *lebih tepatnya berloncatan* mengikuti
suara beliau.
Putar ke kiri, hey…. Nona manis putarlah ke kiri,
Ke kiri, ke kiri, ke kiri, dan ke kiri *ntah berapa
kali*
Ke kiri manise.
Putar ke kanan, hey… Nona manis putarlah ke kanan,
Ke kanan, ke kanan, dan ke kanan *ntah berapa kali
lagi*
Ke kanan manise..
Dan,
begitu seterusnya sampai si Ibu selesai bernyanyi dengan mengulang bagian reffrain
berkali-kali *sampai bosan*.
***
Kamis, 30 Juli 2015
Usai upacara pelepasan dan
meletakkan barang-barang di bus yang berjejer tak terkira panjangnya, kami
menyadari satu hal. Ya, kami akan merindukan deretan bangunan bercat hijau tua
tempat kami berjumpa pertama kali. Mungkin kami tak akan bisa kembali ke tempat
ini, bertemu tempat tidur beralas tandu, makan dengan ompreng, mandi- wudhu-
sholat- BAB, dan semua kegiatan lain yang serba berbaris- mengantri, mendengar
teriakan dan-ki, dan-ton, dan dan-yon menyiapkan barisan, berteriak-teriak
menyanyikan lagu kebangsaan yang tak
sama liriknya antara baris depan-belakang karena terlalu panjang, keributan
mencari barisan saat gelap: pagi sebelum terbit mentari dan tengah malam,
terkantuk-kantuk mendengar narasumber menyampaikan materi saat Pembekalan, ah,
semuanya. Ya, kami akan rindu itu.
Gambar: Jelang keberangkatan
Aku dan kesepuluh temanku memasuki
BUS 8 –Dra. Riswani, M,Pd- yang akan membawa kami ke desa pengabdian: Dusun 1
Kampung Tanjung Kuras, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. Dan dari sinilah,
awal kisah kami sebenarnya akan bermula…
***
Behind the scene
Pembekalan KKN Kebangsaan 2015 *just for
Kompi Tirta*
Interview Moment
Narasumber : Parno.
Pewawancara : Danton, Danki, dan Danyon.
Bagaimana kesan kamu selama mengikuti pelatihan
di batalyon?
Seru,
Ndan! Banyak hal yang baru pertama kali kami alami, Ndan!
Sebutkan secara terperinci! Yang paling berkesan
menurut kamu?
Ini,
Ndan. Kalau komandan mau dengar keributan pagi hari, datang aja ke barak cowok,
Ndan. Ntar denger bunyi, “kreeeek.. kreeeek….” Bukan bunyi gayung beradu dengan
air tapi gayung beradu dengan dinding bak, Ndan. Padahal dah jelas airnya
habis, tetap aja diciduk, Ndan. “kreeek… kreeeek….”Tanyalah ke mereka, Ndan,
siapa yang mandi pagi ini?
Sontak kami semua tertawa. Termasuk para
komandan.
Yaya… ada-ada saja kamu ini. Kalau makan, gimana?
Wah,
seru, Ndan. Pakai ompreng. Tapi, ya, itu, Ndan. Gak boleh nambah. Ambil timun
lebih dari biji aja udah dimarahin, Ndan. Sampai tempe, tahu, pun semua dijatah.
Jelas, dong. Ingat kawan lain. Kalau tidur
gimana?
Kalau
di barak satu lagi, enak Ndan. Dapat kasur. Nah, kami yang di aula. Beuh,
beralas lantai, Ndan. Datang aja komandan ke barak kami, udah kayak counter,
Ndan. Cok sambung ntah kemana-mana. Hp berserak, Ndan! Kalo tidurnya ya, itu,
Ndan. Kalo normalnya kepala ketemu kepala-kaki ketemu kaki, kami nggak Ndan,
kepala ketemu kaki, kaki ketemu kepala. Penting bisa tidur aja, jadilah, Ndan.
Kali ini, anak cowok dengan barak yang dimaksud
ketawa terpingkal-pingkal.
Meskipun
begitu, itu yang sekarang kami rindu, kawan. :D
Thanks a lot for memorable three days
Batalyon Infanteri Arhanudse 132 Wirabima at Salo, Bangkinang, Kampar Regency,
Riau Province.
Pekanbaru, 13 September 2015
Komentar
Posting Komentar