“Baik
mau dikatakan atau tidak, maka itu tetap cinta. Tidak berkurang sesenti pun
perasaan tersebut.” (Tere Liye)
Maka
karena dinyatakan ataupun diam ia tetaplah cinta, aku lebih memilih diam memendam
rasa. Menikmati rasa ini sendiri.
Apa bayang tentangku tidak pernah hadir?
Kau tanya
tentangmu? Ah, sering sekali. Perlahan mengerjap dalam lamunan, dalam usaha
belajarku untuk berlari menghindarimu (atau upaya mendekatkan langkah kepadamu?)
Entahlah. Aku bahkan telah melakukan perjalanan dalam upaya melupakanmu. Ah,
sebagimana perlu waktu untuk menggoreskan tinta cerita, maka tentu ada masa
diminta oleh hujan untuk mentahbiskan semua rona agar menjadi gradasi pudar
satu warna, kelabu berjelaga ataukah jingga? Entahlah. Yang kutahu warna itu
kian dan akan terus berkurang kepekatannya.
Kau
tahu, usaha melupakan itu paradoks maksimum. Mengapa? Satu sisi berjuang
melupakan sama dengan membiarkan sisi lain menggores di atas kanvas ingatan.
Lalu mana menurutmu yang paling bertahan? Dapatlah kau temukan jawaban.
Hai,
bolehkah aku meminta sejenak untuk menatap ke belakang? Ah, tidak, menolehlah
ke samping. Ke arahku. Tidakkah mendengar sesuatu?
Ah,
delusi ini rasanya semakin menggila saja, bukan? Pergilah. Semua tentang kita
akan berusaha kulupakan. Tapi tetap, berikan aku waktu.
Bagaimana bila bayangku tetap hadir?
Biar
saja. Aku akan menikmatinya. Aku jadikan itu sebagai motivasi pijakan agar
lebih baik lagi. Semoga.
17 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar